DepokRayanews.com- Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Sandrayati Moniaga mengatakan, di Indonesia. perempuan dan anak-anak dalam kelompok ekonomi menengah-bawah adalah kelompok paling rentan menjadi perokok pasif karena terpapar asap rokok dalam ruangan dan berpotensi mengalami kekerasan domestik.
“Komnas mendesak pemerintah untuk melakukan upaya maksimal melindungi hak kesehatan masyarakat khususnya perempuan dan anak-anak kelompok ekonomi menengah-bawah dari paparan asap rokok. Ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan harga jual rokok setinggi-tingginya sehingga tidak dapat terjangkau oleh daya beli kelompok berpenghasilan menengah-bawah,” kata Sandrayati Moniaga di Jakarta belum lama ini.
BPS dalam hasil surveinya pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa rokok telah menjadi barang konsumsi terbesar ke dua setelah beras pada penduduk miskin, jauh mengalahkan pengeluaran/belanja lauk-pauk (sumber protein), biaya pendidikan, apalagi biaya kesehatan.
Hal ini sangat memprihatinkan mengingat konsumsi rokok justru menimbulkan beban ekonomi, baik pada skala mikro (keluarga) maupun makro (negara).
Seperti yang disebutkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan baru-baru ini bahwa beban biaya kesehatan akibat konsumsi rokok telah mencapai 387 triliun per tahun, jauh di atas pendapatan cukai rokok yang disetorkan para perokok per tahun.
Di sisi lain, laporan WHO tentang epidemi tembakau global 2017 menyebutkan bahwa harga rokok di Indonesia adalah yang termurah di dunia, yaitu masih ditemukannya rokok dengan harga Rp 5.900 per bungkus.
Yang menarik, menurut data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2010, pengeluaran rumah tangga untuk rokok ternyata jauh lebih besar dikeluarkan rumah tangga termiskin yakni mencapai 12%. Sedangkan pengeluaran rokok bagi orang kaya hanya sekitar 7%.
“Pengeluaran rokok bagi orang miskin setara dengan 13x pengeluaran daging, 5x pengeluaran susu dan telur, 6x pengeluaran pendidikan dan 6x pengeluaran untuk kesehatan. Sebaliknya, jika perokok miskin mengalokasikan dananya untuk membeli daging dan kebutuhan lain, maka kualitas dan SDM keluarga miskin akan meningkat,” begitu isi penelitian yang tertulis dalam buku ‘ Bunga Rampai Fakta Tembakau dan Permasalahannya di Indonesia tahun 2012’
Data Susenas juga mencatat jumlah pengeluaran untuk kesehatan per bulan oleh perokok keluarga miskin, hanya sekitar 2,02% dengan pengeluaran sebesar Rp 17.470 yang tidak sebanding dengan pengeluaran rokok yang mencapai Rp 102.956
Dengan pengeluaran terbesar yaitu rokok dan sirih, perokok miskin mengalahkan 23 jenis pengeluaran penting lainnya per tahun.
Pengeluaran rumah tangga untuk daging hanya 0,90% berarti hanya sebesar Rp 7.759 per tahun. Komposisi ini jauh lebih kecil dibanding rokok. Pengeluaran susu dan telur sebesar Rp 19.437 dengan persentase 2,25%.
Ikan dan sayur-sayuran dengan persentase masing-masing 6,06% dan 5,68% dengan pengeluaran hanya sebesar Rp 52.368 dan Rp 49.127. (net/red)
Comment