Depokrayanews.com- Imam Budi Hartono hampir dipastikan akan mendampingi Mohammad Idris pada Pilkada Kota Depok yang akan digelar pada 9 Desember 2020 mendatang. Sinyal kuat itu sudah datang dari mana-mana, termasuk dari Imam sendiri.
”Saya mendapat amanah untuk maju di Pilkada Depok, apapun hasilnya,” kata Imam kepada depokrayanews.com. Artinya, kalau kemudian DPP PKS memutuskan dirinya menjadi calon wakil walikota mendampingi Mohammad Idris, Imam pun sudah siap. ”Sebagai kader partai, saya siap ditugaskan dan siap bekerjasama dengan siapapun,” kata dia.
Meskipun belum mendapat pemberitahuan secara resmi dari PKS, Imam sebagai pemenang pemilu raya (pemira) PKS Kota Depok mengatakan tidak ada masalah bila dipasangkan dengan Idris. ”Kiai Idris adalah guru saya, saya hormat sama beliau. Saya merasa nyaman dengan beliau. Beliau pun tidak ada masalah dengan saya,” kata Imam.
Sebelumnya memang beredar kabar bahwa antara Idris dengan Imam ada ketidakcocokan, termasuk karakter dan cara pandang. Keduanya sudah menjadi rival sejak Pilkada 2015. Karena itu, ada yang bilang kalau Idris dan Imam dipasangkan, itu adalah ”kawin paksa”.
Keharmonisan keduanya diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Jauh lebih singkat dibanding ”kemesraan” antara Idris dan Pradi. Benarkah ? Perjalanan waktu yang akan menjawab itu.
Yang pasti, antara Idris dan Imam ada kesamaan. Keduanya berlatar belakang guru, meskipun bukan dari jalur pendidikan formal guru. Idris pernah menjadi dosen di IAIN yang kini berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Imam pun pernah menjadi guru di STM Panmas, mengajar Matematika setelah setelah selesai kuliah di Universitas Indonesia (UI) Depok. Sama seperti Idris, Imam pun mendalami agama Islam sejak masih remaja. Keduanya, sama-sama memulai jenjang pendidikan di Jakarta. Imam di daerah Setia Budi, sedangkan Idris di kawasan Manggarai.
Bedanya, Imam tidak jadi melanjutkan pendidikan S2 di Australia, sedangkan Idris meraih gelar doktor di Fakultas Syari’ah jurusan Tsaqofah Islamiyyah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Arab Saudi.
Imam Budi Hartono lahir di Setia Budi Jakarta Selatan, pada 8 Agustus 1968. Masa kecilnya sampai SMA banyak di Jakarta. Jejang pendidikan ditempuhnya di SD Negeri Muhammadiyah 12 Setia Budi yang kini sudah tergusur. Sama seperti anak-anak lainnya pada masa itu, Imam senang bermain petak umpet dan galangsing, tapi tidak pernah berantem apalagi tawuran seperti sebagian kecil anak-anak sekarang.
Tamat SD, Imam masuk SMP Negeri 58 Jakarta, kemudian lanjut ke SMA Negeri 3 Jakarta. Ketika SMP, Imam mulai aktif di sekolah. Sering menjadi petugas penggerak bendera merah putih. Di ruang kelas, Imam tampak menonjol, terutama di mata pelajaran Matematika. Beberapa kali Imam menjadi juara kelas.
Ketika sekolah di SMA Negeri 3 Jakarta, Imam baru aktif di organisasi rohani Islam (rohis) “Saat di SMA saya mengenal organisasi,” kata Imam. Hampir setiap hari Imam pulang pukul 10 malam. Padahal berangkat sejak pukul 6 pagi.
Setiap hari ada saja kegiatan yang lakukan Imam setelah jam sekolah, seperti bimbingan baca Quran, bimbingan matematika, fisika kimia. Kemudian ikut bela diri kungfu. Imam juga aktif di OSIS di bidang pendidikan dan pernah ikut lomba karya ilmiah tingkat SMA.
Setelah lulus SMA, Imam dapat undangan untuk kuliah di ITB. Tapi Imam tidak jadi berangkat ke Bandung karena dianggap terlalu jauh oleh orangtuanya. Imam kemudian diterima di Teknik Kimia Universitas Indonesia (UI) setelah ikut tes penerimaan mahasiswa baru.
Tapi ketika dikampus Imam tidak banyak ikut organisasi, seperti di SMA. Karena kondisi ekonomi keluarga, Imam harus belajar hidup mandiri. ”Maklum, orangtua saya seorang sopir. Jadi saya harus mencari tambahan uang untuk biaya fotokopi materi kuliah dan sebagainya,” kenang Imam.
Imam akhirnya Imam menjadi guru privat untuk anak-anak SD, SMP dan SMA. Uang hasil mengajar privat itu dijadikan tambahan biaya kuliah dan kebutuhan lainnya. ”Alhamdulillah akhirnya berhasil juga,” kata dia. Selama kuliah di Depok, Imam menjadi anak kos. Tapi sekali dalam sebulan, Imam pulang ke Jakarta menjenguk orangtuanya.
Setelah lulus kuliah, Imam mengajar di STM Panmas untuk mata pelajaran Matematik dan keilmuan lainnya. Cukup lama Imam mengajar di situ.
Ketika masa reformasi 1998, Imam ikut berdemo bersama teman-temannya ketika menjadi mahasiswa di Gedung DPR MPR. Momen itulah kemudian yang menjadi cikal bakal dibentuknya Partai Keadilan (PK). Imam pun dipercaya menjadi pengurus di DPC PK di Kecamatan Beji.
“Setelah Depok menjadi kota, saya dipercaya menjadi Ketua DPD Partai Keadilan Kota Depok. Saya ketua PK pertama di Kota Depok. Akhirnya saya terpilih menjadi anggota DPRD. Kami bersama sejumlah anggota DPRD lainnya, menjadi anggota dewan pertama di Kota Depok,” kata Imam.
Itulah perjalanan hidup, kata Imam. Dia sendiri juga tidak menyangka bisa menjadi anggota dewan sampai sekarang. Imam juga bersyukur bisa naik kelas, dari anggota DPRD Kota Depok menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat. ”Tidak banyak diantara angkatan kami yang naik kelas di dewan,” kata Imam sambil menyebut nama Hasbullah dari PAN.
Padahal ketika selesai kuliah ada keinginan Imam untuk melanjutkan pendidikan S2. Apalagi ketika itu, Pertamina sempat menawarkan beasiswa ke Australia. ”Saya pingin banget menjadi pejabat di Pertamina. Tapi ternyata Allah takdirkan saya di politik untuk melayani masyarakat,” kata dia.
Imam mengaku lebih senang berada di politik. Apalagi banyak tugas dari partai, termasuk membenahi sistem pemerintahan di Indonesia. ”Banyak hal yang bisa kita perjuangkan untuk kepentingan masyarakat. Ada kesenangan tersendiri ketika melakukan advokasi ke masyarakat dan berhasil,” kata Imam.
Latar belakang keluarga yang sederhana, membuat seorang Imam harus gigih memperjuangkan nasibnya untuk menjadi sosok yang sukses. Kini ketika menjadi pejabat, Imam juga gigih memperjuangkan nasib banyak orang yang membutuhkan. Sebagai wakil rakyat, Imam tampak selalu sederhana. Ini yang membuat dia tidak berjarak dengan masyarakat. (red)
Comment