Depokrayanews.com- Selama beberapa waktu belakangan, ramai isu perceraian anak mendiang Ustaz Arifin Ilham, Alvin Faiz dengan Larissa Chou. Salah satu penyebab perceraian itu dilaporkan akibat pernikahan di usia muda sehingga keduanya belum siap mengarungi bahtera rumah tangga.
Di samping itu, ada pula perbincangan mengenai sinetron Suara Hati Istri yang menampilkan kisah seorang gadis yang dipaksa menikah muda. Kisah ini sendiri menuai polemik karena sang pemeran ternyata masih berusia 15 tahun.
Menikah mungkin jadi dambaan tiap pasangan. Namun, usia jelas jadi satu pertimbangan bagi pasangan yang akan menikah.
Beberapa pihak pada akhirnya tidak menganjurkan pernikahan usia di muda karena sejumlah dampak buruk yang bisa terjadi. Apalagi kalau ternyata itu merupakan sebuah paksaan.
Berikut penjelasan para psikolog terkait bahaya dan dampak buruk menikah di usia dini, baik secara biologis maupun psikologis.
1. Dampak buruk pernikahan anak secara psikologis
Tidak sedikit kerugian yang diderita ketika remaja melakukan pernikahan dini, antara lain adalah keadaan psikologis, emosi dan psikososial remaja yang masih belum matang, sehingga rapuh dalam menjalankan kehidupan rumah tangga dan akhirnya rentan terhadap perceraian.
Di sisi lain, perceraian sendiri bisa jadi beban emosional yang dapat menimbulkan gangguan psikis, seperti stres dan depresi.
Dalam wawancaranya beberapa waktu lalu, psikolog Livia Iskandar mengungkapkan pernikahan anak sebenarnya memberi kerugian lebih banyak di sisi perempuan.
Menurut Livia, anak juga belum matang secara psikologis. Ia memberi contoh saat anak memiliki anak, sulit dibayangkan pasangan remaja saat menjadi orang tua dan mengasuh serta mendidik anak. Perempuan juga jadi lebih rentan depresi pasca melahirkan.
Pernikahan anak juga membuat pendidikan terganggu bahkan terputus. Livia juga meragukan anak akan melanjutkan sekolah setelah menikah. Saat ia hamil, kemungkinan sulit bagi sekolah untuk menerima siswi yang sedang bertubuh dua. Pendidikan wanita yang rendah ini tentunya akan berpengaruh pada pendidikan ke anak.
Putus sekolah juga akan berisiko membatasi kemampuan belajar dan memperburuk kemiskinan lintas generasi.
“Di sinilah pertautan antara dua orang yang berbeda segalanya, berubah status menjadi suami-istri dan bertujuan membangun rumah tangga. Mereka akan mendidik anak-anak yang dilahirkan menjadi manusia yang berguna serta bermanfaat,” ungkap Tika Bisono.
Lebih lanjut, diungkapkan Tika, matang dan dewasa dari aspek kognitif, kepribadian, psikososial, kemandirian, ekonomi, keamanan, perencanaan berkesinambungan dan terpenting adalah pedagogis – kesiapan untuk belajar menjadi orang tua.
Secara psikologis, remaja punya kondisi sosio-emosional, kepribadian, dan kognitif mereka masih seperti masa anak namun terus berkembang sesuai lingkungannya. Oleh karena itu, masa remaja ini juga sering disebut masa pencarian jati diri.
Pada masa ini, mereka akan sangat sibuk mencari tahu tentang diri mereka dan dunianya. Dan karena rasa ingin tahu yang sangat besar ini, mereka membutuhkan bantuan dari orang tua dan lingkungan untuk mengontrol dan menyaring pengetahuan yang baik untuk mereka.
“Padahal, sangat berat bagi remaja melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga. Terlebih lagi bagi pria yang akan berperan sebagai kepala keluarga dan memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya,” ucapnya.
“Tidak hanya itu, besarnya konflik dalam membangun rumah tangga akan menambah parahnya keadaan dan menimbulkan kekecewaan bahkan penyesalan, karena mereka merasa terenggut masa muda mereka yang seharusnya dapat lebih produktif dan berkembang lebih optimal.”
2. Dampak biologis pernikahan anak
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menjelaskan, dua hal yang perlu dipersiapkan sebelum menikah tersebut adalah faktor biologis dan psikologis. Dua hal yang kerap diabaikan, namun menjadi kunci awetnya sebuah pernikahan.
Faktor biologis merupakan kesiapan fisik untuk membina rumah tangga yang berkaitan dengan kehamilan dan melahirkan.
Menurut Hasto, secara biologis, perempuan siap untuk menikah di usia 21 tahun dan laki-laki di usia 25 tahun.
Hasto yang juga merupakan dokter spesialis kandungan dan kebidanan ini menyebutkan, kondisi rahim perempuan baru akan ‘matang’ di usia 20-an. Misalnya, bila seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun, kondisi mulut rahimnya masih membuka keluar, seharusnya sudah menutup agar tidak terjadi gangguan pada mulut rahim.
Saat umur 16 tahun, diameter panggul perempuan baru selebar 8 cm, padahal ukuran kepala bayi mencapai 9,8 cm. Ukuran panggul ini baru membesar pada usia 19-21 tahun.
“Kalau ketetapan UU yang baru itu 19 tahun, tapi kan biologis setiap orang beragam. Sehingga, BKKBN menyarankan (menikah) pada usia 21 tahun agar semua perempuan dipastikan siap secara biologis,” ucap Hasto.
Selain itu, studi menunjukkan anak-anak yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun lebih berisiko terhadap kurang gizi dan stunting. Dengan kata lain, menikah dini tak hanya ‘merugikan’ perempuan, namun juga calon bayi.
Melahirkan di usia yang sangat muda juga berisiko pada meningkatkan jumlah ibu melahirkan yang meninggal dunia.
Sumber:cnnindonesia
Comment