DEPOKRAYANEWS.COM- Wali Kota Depok Mohammad Idris menyatakan kekecewaannya setelah Peraturan Daerah (Perda) Penyelenggaraan Kota Religius yang disusun Pemkot dan DPRD Depok ditolak oleh Kementerian Dalam Negeri. Padahal, penyusunan Perda itu sudah menelan anggaran hingga Rp 400 juta.
Menurut Idris, Perda itu ditolak Kemendagri lantaran mengandung kata “religius” dan dinilai masuk dalam ranah agama atau privat. Ia pun menilai Kemendagri tak cakap melihat substansi yang dimuat dalam perda tersebut.
“Ada kata-kata religius, saya bilang. ‘Baca dulu dong di dalamnya’. Kalau dibaca substansinya, insya Allah akan paham semuanya. Jangan hanya melihat kata-kata religius,” kata Idris seperti dikutip dari Kompas, Senin 3 Oktober 2022.
Penggunaan kata “religius”, menurut Idris, tak ada sangkut paut dengan aturan kepribadian umat beragama. Menurut dia, perda itu dibuat untuk menjaga kerukunan umat beragama.
“Padahal, kami tidak mengarah kepada mengatur orang memakai jilbab atau orang shalat, enggak, (tetapi urusan) kerukunan umat beragama, kedamaian, kekompakan, dan toleransi itu ada di perda,” ujar Idris.
Idris merasa kecewa lantaran perda itu ditolak. Ia membandingkan Perda itu dengan slogan Kota Depok yang menggunakan kata “religius”.
“Padahal, sebelumnya tagline Kota Depok isinya adalah unggul, nyaman, religius, tidak dipermasalahkan oleh KPUD, disetujui jadi catatan dokumen negara,” ujar Idris.
Meski ditolak Kemendagri, Idris memastikan pihaknya akan tetap memperjuangkan pengesahan Perda Penyelenggaraan Kota Religius. Hal itu akan ia lakukan sebelum dia lengser dari kepemimpinannya di Kota Depok pada 2024.
Ia pun berencana menyambangi Kementerian Agama untuk meminta rekomendasi. “Saya akan minta ke sana dengan menterinya, termasuk Menteri Agama saya minta rekomendasi. Tolong dibantu Menteri Agama karena ini urusan agama,” ujar dia.
Lebih jauh, Idris mengaku, Pemkot Depok telah mengeluarkan dana sebesar Rp 400 juta untuk pembuatan Perda Penyelenggaraan Kota Religius.
Biaya tersebut justru dinilai sia-sia karena berkas perda itu hanya berakhir di laci meja Kemendagri.
“Tahulah berapa duit kami kalau bikin perda, seperti kunjungan kerja atau segala macam sampai Rp 300 juta hingga Rp 400 juta,” kata Idris. (ril/kps)
Comment