DEPOKRAYANEWS.COM- Paguyuban RW se-Kelurahan Cinere, Kecamatan Cinere, Kota Depok mengajukan Petisi kepada Wali Kota Depok Mohammad Idris, karena membiarkan Jalan Raya Cinere macet lebih dari 20 tahun. Padahal Kecamatan Cinere memberikan kontribusi sangat besar terhadap pendapatan daerah melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB).
Petisi itu disampaikan Ketua RW 08 Kelurahan Cinere, Kecamatan Cinere Eko Supriyanto mewakili Paguyuban RW se-Kelurahan Cinera kepada Ketua DPRD Kota Depok TM. Yusufsyah Putra yang hadir pada acara Musrenbang Kelurahan Cinere.
Dalam petisi sebanyak dua lembar itu, secara terang-terangan Paguyuban RW menyebut bahwa masyarakat Cinere selama ini hanya menjadi korban ”iming-iming” politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada Kota Depok). Selesai Pilkada, masyarakat Cinere merasa terpinggirkan dan tidak mendapat perhatian.
Padahal bila dilihat dari sisi lokasi, letak Cinere sangat strategis, karena perlintasan masyarakat dari DKI Jakarta, Tangerang Selatan Banten dan Depok Jawa Barat. Jalan Raya Cinere pada 50 tahun lalu hanya sebagai jalan kampung, tapi kini kawasan itu berkembang menjadi kawasan bisnis. Banyak perumahan, pertokoan dan mall, sehingga ekonomi di Cinere berkembang. Jumlah kendaraan semakin banyak. Tapi jalan tidak pernah dilebarkan dan dibiarkan rusak.
Warga Cinere menilai Pemerintah Kota Depok tidak mampu melebarkan jalan tersebut, sehingga kemacetan di Cinere berlangsung hampir sepanjang waktu, kecuali jam 24.00 WIB. ”Sudah lebih dari 20 tahun Cinere dibiarkan macet setiap hari, kecuali jam 12 malam hingga pukul 03.00 WIB,” kata Eko Supriyanto kepada depokrayanews.com, Jumat 13 Januari 2023.
Kemacetan yang begitu parah, kata Eko menimbulan pemborosan yang luar biasa. Kondisi ini sangat memberatkan masyarakat secara ekonomi, karena mereka harus membeli BBM ekstra, lebih besar dari yang seharusnya. ”Jika setiap mobil mengeluarkan biaya tambahan beli BBM sebesar Rp 1,5 juta, maka 30 ribu mobil warga Cinere dan sekitarnya mengeluarkan dana Rp 90 miliar per tahun. Kemacetan itu sudah terjadi lebih dari 20 tahun, sehingga warga sudah menghabiskan dana sebesar Rp 1,8 triliun untuk membeli BBM ekstra,” kata mantan mahasiswa ITB itu.
Karena merasa prihatin dengan kemacetan itu, kata Eko, sudah beberapa kali warga melakukan pelebaran Jalan Raya Cinere secara swadaya. ”Tentu ini sungguh ironis, masyarakat disuruh membayar pajak, tapi tidak menikmati infrastruktur yang memadai, yang seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah setelah mendapat dana pajak dari masyarakat,” kata Eko.
Padahal APBD Kota Depok selalu mengalami SILPA setiap tahun dengan rata-rata Rp 500 miliar. Angka SILPA Kota Depok paling tinggi di Provinsi Jawa Barat, atau sekitar 16 persen dari APBD. Sedangkan SILPA Kabupaten/Kota lain di Jawa Barat, rata-rata di bawah 10 persen. Misalnya Kota Bogor SILPA hanya 6 persen, Kabupaten Bekasi 7 persen dan Kota Bekasi serapan anggaran seratus persen.
”Besarnya SILPA menunjukan pengelolaan anggaran yang buruk,” tulis warga dalam petisi itu. SILPA tinggi, sementara banyak yang harus mendapat perhatian dan perbaikan, tapi tidak dilakukan.
Karena itu, warga Cinere mengajukan tiga petisi kepada Pemerintah Kota Depok. Pertama, menodorong peningkatan status Jalan Raya Cinere dari Jalan Pemkot Depok menjadi Jalan Provinsi Jawa Barat agar bisa mempercepat perbaikan dan peningkatan kualitas jalan.
Kedua, mendorong Wali Kota Depok untuk lebih memperhatikan pembangunan wilayah penyangga seperti Cinere. Ketiga, warga Cinere meminta Wali Kota Depok untuk melakukan intervensi kebijakan dan anggaran sehingga Jalan Raya Cinere mendapat perhatian yang seharusnya dengan memaksimalkan anggaran untuk kepentingan masyarakat. (red/ril)
Comment