Depokrayanews.com- Sampah masih menjadi salah persoalan utama di Kota Depok. Apalagi jumlah penduduknya terus meningkat setiap tahun yang sudah tentu akan menambah produksi sampah.
Tahun lalu produksi sampah Kota Depok mencapai 1.250 ton per hari. Yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) Cipayung hanya sekitar 700 – 750 ton. Sisanya diolah di Unit Pengolahan Sampah (UPS), ada yang masuk ke bank sampah dan ada pula yang masih tersisa di tempat pembuangan sampah liar.
Jumlah sampah yang dibuang di tempat pembuangan sampah liar tidak tanggung-tanggung, mencapai 200 ton per hari. Tidak heran kalau kemudian, di beberapa lokasi masih ditemukan ada tumpukan sampah. Loksi pavorit tempat pembuangan sampah liar itu adalah pinggir jalan dan kali.
Bagi dinas lingkungan hidup dan kebersihan (DLHK) Pemerintah Kota Depok sampah liar ini merupakan persoalan serius tersendiri dan harus dihentikan.
Untuk itu, DLHK menyiapkan 1.800 laskar kebersihan yang terdiri atas tenaga kebersihan dan petugas pertamanan. Tugas laskar ini adalan menjaga kebersihan dan menangkap warga yang membuang sampah sembarangan.
“Biasanya warga membuang sampah sembarangan pada pagi hari, saat mau berangkat kerja,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Pemkot Depok, Etty Suryahati. Etty menyebut tahun lalu, timnya berhasil menangkap 43 warga Depok yang membuang sampah sembarangan. Warga yang tertangkap basah membuang sampah sembarangan itu langsung mengikuti sidang tindak pidana ringan (Tipiring).
Banyak cara yang sudah dilakukan Pemkot Depok menyelesaikan persoalan sampah, termasuk mendorong masyarakat membuat bank-bank sampah di sejumlah wilayah.
Bahkan Depok menjadi salah satu kota pelopor pendirian bank sampah di Indonesia. Sampai kini sudah ada lebih dari 500 bank sampah di Kota Depok.
Kemudian Pemkot Depok juga membangun unit pengolahan sampah (UPS) di hampir semua wilayah. Bulan Februari 2017 lalu, di saat peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), Walikota Depok Mohammad Idris meresmikan Unit Pengolahan Sampah (UPS) Duren Mekar yang terletak di Jalan Parung Poncol RT. 3/2, Bojongsari, Kecamatan Bojongsari. Ini merupakan UPS ke 32 yang sudah berfungsi di Kota Depok.
Pada kesempatan itu, Walikota menghimbau seluruh camat dan lurah se-Kota Depok untuk menggelorakan peduli sampah kepada masyarakat. Idris mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memiliki kepedulian yang sama terhadap sampah.
“Ayo bergerak dan berkolaborasi membangun kepedulian dan kebersamaan dalam pengelolaan sampah. Kurangi, pilah, dan letakan sampah pada tempatnya,” kata Idris.
Etty Suryahati mengajak masyarakat untuk peduli sampah mulai dari sekarang, karena mengembangkan TPA Cipayung sudah sangat sulit. Sedangkan sampah yang bisa diolah di UPS baru sekitar 100 – 150 ton per hari. Karena itu, Etty mengajak masyarakat untuk mengelola sampah dengan memilah sampah mulai dari rumah.
“Kita juga bisa berdayakan masyarakat melalui bank sampah untuk menggarap sampah non organik. Saat ini, sampah organik juga bisa dikelola menjadi makanan ternak mangrove dan bahan pembuatan kosmetik,” kata mantan Sekda Kota Depok itu.
Etty terus mendorong lurah dan camat mempelopori berdirinya bank-bank sampah di wilayahnya masing-masing. Upaya itu sudah mulai membuahkan hasil. Lurah Cipayung, Herman menyebut, di wilayahnya kini sudah ada 9 bank sampah. Tinggal 2 RW lagi yang belum punya bank sampah yakni RW 4 dan RW 7.
Sementara itu, di Kecamatan Sukmajaya sudah ada 60 bank sampah Aktivitas bank sampah di wilayah itu sudah berjalan sejak 4 tahun lalu dikoordinir oleh Komunitas Great Green Community atau Komunitas Hijau Hebat Kecamatan Sukmajaya.
Overload
Etty mengakui, dengan kondisi yang ada sekarang, tempat pembuangan akhir (TPA) Cipayung hanya sanggup menampung sampah untuk enam bulan ke depan. “Sebenarnya TPA Cipayung sudah overload , tapi masih dipaksakan,” kata Etty.
Kini ketinggian tumpukan sampah di TPA Cipayung sudah mencapai 33 meter. Kalau terus dipaksakan , Etty khawatir gunungan sampah itu akan longsor dan membahayakan warga .
Untuk mengatasi krisis itu, Pemerintah Kota Depok akan membuat kolam D seluas 5.000 meter. Untuk membangun kolam D itu, Pemkot Depok telah menganggarkan dana sebesar Rp 7 miliar tahun ini. Berdasarkan kajian, kolam D itu bisa menampung sampah warga setidaknya untuk setahun ke depan.
Etty mengakui, pembangunan kolam itu merupakan alternatif penanganan sampah jangka pendek, sambil menunggu dibukanya Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Nambo di Kabupaten Bogor.
Kemudian, Depok sedang menjajaki teknologi pengolahan sampah yang dilakukan di Bantargebang, Bekasi. Kerja sama dengan Bekasi sudah dilakukan, tinggal membuat feasibility study atau studi kelayakan.
Upaya memilah sampah dan memperbanyak berdirinya bank sampah, sudah mulai membuahkan hasil. Paling tidak jumlah sampah yang masuh ke TPA Cipayung berkurang sekitar 10-15 persen. Kabid Kebersihan. DLHK, Kusumo bersama tim terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk melakukan gerakan memilah sampah dan mendirikan bank-bank sampah di wilayah masing-masing. ‘’Target kita minimal ada 1.000 bank sampah di Kota Depok,,” kata Kusumo.
Di Depok saat ini sudah ada 125 kawasan lingkungan pengelolaan sampah. Kawasan itu berupa RT, RW, perumahan, dan perkampungan. Di antara perumahan besar yang sudah melakukan pemilahan sampah semakin banyak, antara lain Komplek Marinir, Komplek BDN, Komplek Puri Anggrek Rangkepan Jaya, Komplek Pesona Depok, Komplek Beji Permai dan Komplek Kopasus Sukatani. dan yang akan segera berjalan yaitu di Perumahan Bukit Rivaria, Sawangan.
“Dengan adanya kawasan-kawasan pengolahan sampah, diharapkan tahun 2019 masalah sampah tuntas,” kata Kusumo. Apalagi bila 90 persen warga Depok sudah memilah sampah dengan benar, maka jumlah sampah yang di buang ke TPA Cipayung hanya tinggal 15-20 persen saja.
Kusumo mengklaim, sistem pengolahan sampah di Depok, saat ini merupakan yang terbaik di Indonesia, dan merupakan yang pertama kali untuk negara berkembang. Sistem semacam itu sudah diterapkan di di negara maju seperti Jepang dan, Amerika.
Kusumo kemudian menjelaskan system yang diterapkan di Depok berbeda dengan apa yang dilakukan kota atau daerah lain. Hal itu terungkap pada rapat-rapat yang dilaksanakan di kementerian. ‘’Banyak kota menyelesaikan persoalan sampah di hilir. Tapi Kota Depok melakukannya dari hulu,’’ kata Kusumo.
Artinya, penanganan atau pengelolaan sampah itu dimulai dari lingkungan terkecil. Rumah tangga, RT, RW, kelurahan, kecamatan baru sampai tingkat kota. Begitu juga di tempat usaha, dimulai dari restoran atau kafe sudah dilakukan pemilahan sampah. Dan itu sudah diatur dalam Perda No 5 Tahun 2014 yang mengamanahkan, pemilahan sampah dimulai dari sumber sampah itu sendiri.
Kusumo membayangkan, ketika Kota Depok punya 40 UPS dan berfungsi dengan baik, maka sampah yang ada di TPA Cipayung tidak akan menumpuk tinggi, karena sebagian besar sudah bisa diolah di UPS.
Anggota Komisi V DPR RI Mahfudz Abdurrahman mengapresiasi langkah pengelolaan bank sampah di Kota Depok sehingga dinobatkan sebagai pemilik bank sampah terbanyak di Indonesia.
“Salut dengan Kota Depok yang mampu menjadikan sampah sebagai sumber rezeki dengan bank-bank sampah yang dimiliki,” kata Mahfudz di Depok ketika berkunjung dan melihat langsung TPA Cipayung dan sejumlah bank sampah di Kota Depok.
Komisi V DPR RI yang membidangi sarana dan prasarana, kata Mahfudz, akan mengkondisikan bantuan apa yang akan diberikan kepada Pemkot Depok. Selain itu juga perbaikan infrastruktur jalan menuju ke lokasi TPA Cipayung.
“Bantuan berupa mobil operasional, excavator, atau alat-alat lainnya, akan kami dorong untuk menjadi pembahasan. Kami akan selalu tanggap untuk memperjuangkan aspirasi-aspirasi yang ada di daerah,” kata dia.
Etty Suryahati menyebut, besarnya tonase sampah yang masuk, membutuhkan bantuan fasilitas operasional untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. “Tentunya kami menyambut baik jika ada bantuan dari pemerintah pusat, untuk mempermudah dan meningkatkan kinerja pengolahan sampah yang ada di kota Depok,” kata dia.
Meskipun masih banyak masalah yang dihadapi, Etty optimis masalah sampah di kota akan tuntas pada 2019. Sebab, selain memilah sampah dan membuat bank-bank sampah dan mengoptimalkan UPS, Pemkot Depok terus mencari cara-cara lain untuk bisa mengelola sampah dengan baik dan bermanfaat.
Salah satunya adalah dengan mendorong pemanfaatan maggot (larva hitam) untuk mengurai sampah organik secara alami di bank sampah yang telah tersedia.
“Kami mencoba untuk kembangkan sistem maggot ini di bank sampah dan UPS, Ini bisa kita jadikan lapangan kerja bagi masyarakat,” kata Etty. Maggot merupakan larva lalat hitam dan bisa memakan sampah organik.
Kemampuannya yang dapat membantu mengurai bahan-bahan organik, dirasakan sangat bermanfaat untuk mengurai sampah. Maggot memiliki nilai ekonomi, karena mengandung protein yang sangat tinggi. Bahkan, protein yang dimiliki maggot lebih tinggi dibandingkan kroto anak semut. Harga maggot bisa mencapai Rp 20 ribu per kg. Dengan demikian, maggot bisa menjadi peluang bisnis bagi masyarakat sekaligus membantu menyelesaikan persoalan sampah organik.
Etty juga sedang berkoordinasi dengan balitbang ikan hias terkait bimbingan dan pelatihan para kader lingkungan terhadap budidaya maggot. Jika sistem maggot ini bisa dilaksanakan di tiap UPS dan bank sampah, maka jumlah sampah yang masuk ke TPA Cipayung akan berkurang. “Kalau ini bisa berjalan baik, bisa mengurangi sampah organic yang masuk ke TPA Cipayung sedkitar 55 persen, ‘’ kata Etty.
Belajar dari Kota Lain
Perang terhadap sampah tidak hanya dilakukan oleh Kota Depok, tapi juga dilakukan banyak kota dan kabupaten di Indonesia. Depok sebagai salah satu pelopor pendirian bank sampah banyak dikunjungi daerah lain yang hendak belajar mengelola sampah.
Usai belajar di Depok, sejumlah daerah langsung bergerak dan melakukan gebrakan agar program pengelolaan sampah itu berjalan maksimal. Banyak cara yang dilakukan daerah lain untuk memberikan motivasi kepada warganya agar segera mendirikan bank sampah di wilayah masing-masing.
Di Kota Tangerang misalnya, bank sampah tidak hanya didirikan di tingkat RT/RW, tapi juga di kelompok-kelompok masyarakat. Hingga saat ini sudah ada 320 kelompok yang menjalankan bank sampah di lingkungan mereka.
Dengan gerakan itu, sekitar 50 – 60 persen warga Kota Tangerang, kini sudah membiasakan diri memilah sampah. Walikota menjanjikan akan memberikan reward bagi masyarakat yang sudah membiasakan memilah sampah.
Di Makasar gerakan mengelola sampah melalui bank sampah sudah menghasilkan omset miliaran rupiah.”Ini sungguh di luar dugaan karena awalnya kita targetkan tidak sampai Rp 1 miliar dan ternyata animo masyarakat besar dan omzetnya sekarang sudah hampir Rp 2 miliar,” kata Walikota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto. Di Makasar sudah ada 351 bank sampah dengan 12 ribu nasabah.
Lain lagi dengan Bekasi. Walikotanya menjanjikan insentif sebesar Rp 20 juta untuk setiap unit bank sampah pada tahun 2017. Pemberian insentif ini untuk mendorong masyarakat mengaktifkan keberadaan bank sampah dalam upaya meminimalisir tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu.
“Insentif sebesar itu masih lebih kecil jika dibandingkan dengan belanja modal yang kerap dikeluarkan untuk keperluan pengangkutan dan pembuangan sampah menuju TPA Sumur Batu,” kata Walikota Bekasi Rahmat Effendi.
Kondisinya hampir sama dengan Depok. TPA Sumur Batu milik Pemkot Bekasi sudah melebihi kapasitas. Jika pada 2017 mendatang target pembentukan bank sampah di setiap RW terealisasi, kata Rahmat, akan ada sedikitnya seribu unit bank sampah se-Kota Bekasi. Total insentif untuk seribu bank sampah tersebut berkisar Rp 20 miliar.
Uang sebesar itu apabila digunakan untuk pembelian truk sampah hanya didapat sekitar 6 unit.
Nominal itu belum termasuk belanja perlengkapan, semisal onderdil, bahan bakar, dan gaji sopir.
Karena itu, lanjut Rahmat, pemerintah lebih suka menyalurkan dana untuk bank sampah. Walikota Bekasi berharap ke depan akan lebih banyak bank sampah yang terbentuk. Kini di Bekasi , sudah ada 400 bank sampah dan mampu mengurangi 30 persen dari 1.700 ton produksi sampah setiap hari (adn) .
Comment