Oleh Dindin Machfudz *)
MENARIK adalah semakin sering dan berkembangnya penelitian mengenai “otak manusia” dalam beberapa dekade terakhir yang dipublikasikan oleh sejumlah peneliti.
Hasilnya, sungguh menakjubkan. Ajaibnya pula, semakin banyak penelitian, semakin banyak kemajuan dicapai dalam tahun-tahun terakhir, ternyata otak manusia tetap merupakan organ spesial yang menyimpan banyak misteri baru yang muncul, yang karenanya memerlukan jawaban lebih lanjut.
Sebuah artikel di BBC News yang dipublikasikan pada 21 Januari 2021 lalu menerangkan bahwa hidup kita dipengaruhi oleh Otak dan Emosi.
Kedua hal itu, ungkap Facundo Manes Doktor lulusan bidang Sains dari University of Cambridge dan teman sejawatnya Mateo Niro dalam buku terbaru mereks “The Brain of The Future”, bukanlah dua hal yang berbeda.
Keduanya, otak dan emosi, mempengaruhi kita. Emosi bertempat di otak kita dan merupakan pusat dari kehidupan kita.
Emosi mempengaruhi kita karenanya kita mengingat dengan jelas hal-hal yang membuat emosi kita tergerak. Misalkan kita semua mengingat peristiwa 11 September 2001 ketika Menara Kembar diserang, tapi tak ada yang mengingat apa yang mereka lakukan sehari sebelumnya.
Emosi juga mempengaruhi pengambilan keputusan kita. Dan bila disederhanakan, kita memiliki dua sistem membuat keputusan : satu, otomatis dan cepat yang merupakan produk mekanisme evolusi; satunya lagi lambat dan rasional. Bukunya sendiri membahas tentang dampak teknologi baru pada otak, neuroetika, dan peran sains sebagai mediator dalam masalah sosial.
Katanya, “Otak menarik karena di antara kualitas-kualitas lainnya, adalah satu-satunya organ tubuh yang mencoba menjelaskan dirinya sendiri.
Kita bisa menyadari semua yang kita lakukan berkat otak ini, mulai bari bernapas, membaca tulisan ini hingga bertanya dengan pertanyaan filosofis. Otak adalah struktur paling kompleks dan penuh teka-teki di semesta alam ini, sambungnya. Organ itu juga berisi lebih banyak neuron atau miliaran sel saraf daripada jumlah bintang di galaksi, imbuhnya.
Sekedar menyebutkan beberapa penemuan penelitian, ia menunjukkan bahwa ingatan bertentangan dengan persepsi umum, ia bukanlah kotak tempat kita menyimpan ingatan, melainkan adalah ingatan terakhir kita. Kita tahu sekarang bahwa neuron terus-menerus diciptakan sepanjang hidup kita, bahkan di masa dewasa.
“Penelitian lain membuat kita memiliki pemahaman yang lebih baik tentang empati, yakni sebuah area penting dalam otak yang berkaitan dengan bahasa atau berbicara, mekanisme emosi otak, dan sirkuit saraf yang terlibat dalam melihat dan menafsirkan realitas dunia di sekitar kita.
Lebih lanjut, kedua ahli saraf itu mengemukakan bahwa pengetahuan kita tentang otak berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup, baik individu maupun masyarakat secara keseluruhan.
“Sepanjang hidup kita, otak terus menerus berubah. Maka dari itu otak adalah organ yang fleksibel dan adaptif. Ingat, pengalaman hidup kita pada dasarnya mengubah otak kita secara permanen.
Badrul Munir, Dokter Spesialis Saraf dan Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, dalam tulisannya di Republika edisi 22 Juni 2015, mengungkapkan bahwa penemuan beberapa neurotransmiter atau zat kimia otak, dan penemuan alat diagnostik radiologi canggih, setahap demi setahap mulai menemukan jawaban tentang perilaku manusia bila dihubungkan dengan kerja otak manusia.
Fungsi utama otak manusia itu sangat mengagumkan dan sekaligus yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain adalah karena kemampuan otaknya, yakni menjalankan fungsi luhur (high cortical function), di antaranya : berperilaku, berbahasa atau berkomunikasi, berpikir atau kognisi, memori, analisis, dan lainnya.
Lantas, seiring dengan itu para ilmuwan neurosains dunia pun memberikan perhatian khusus tentang kerja otak dan perilaku manusia dengan pendekatan khusus : neuroplastisiti, neurogenesis, dan neurokompensasi. Ketiga teori inii mengungkapkan sel otak bisa “berubah” sifat dan fungsinya sesuai dengan “paparan” yang diterimanya secara berulang-ulang dan terus-menerus. Bila paparan atau terpaannya bersifat positif, akan terbentuk “sirkuit positif”, dan bila paparannya banyak bersifat negatif, akan terbentuk “sirkuit negatif”.
Nah, dalam konteks inilah kita ketahui efek positif puasa, terkhusus puasa Ramadan terhadap otak. Ada pun puasa Ramadhn, tulis Dokter Badrul, hakikatnya adalah melatih atau mengajarkan kita untuk mengaktifkan otak dengan cara memberi stimulus kepada otak agar manusia berperilaku sesuai fitrah insani manusia.
Selain mencegah dan menahan diri makan, minum, hubungan suami istri di siang hari, dan berbagai amalan saleh lainnya seperti membaca Al-Qur’an, sholat terawih, sholat malam, bersedekah, berzakat harta dan zakat fitrah, juga menahan diri dari berbuat dusta, menipu, memfitnah, menyakiti sesama, serakah, irihati, dengki, korupsi, dan perbuatan mungkar dan zolim lainnya.
Hal ini selaras dengan pernyataan Nabi Muhammad Saw yang bersabda : “Puasa adalah tameng. Apabila salah seorang di antara kalian berpuasa, janganlah berkata kotor dan janganlah ia bertindak bodoh. Apabila seseorang ingin bertengkar dengannya atau nencaci-makinya, hendaklah ia berkata , ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa,’ dua kali,’” (HR Abu Hurairah). Tentang perintah puasa Ramadhan ini termaktub dalam QS Al-Baqarah/2 Ayat 183 : “Wahai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Terkait dengan itu, sebuah penelitian terhadap anak sekolah di Amerika Serikat hasilnya mencengangkan, atau lebih tepat menakjubkan. Setiap anak diberi uang saku cukup banyak. Saat uang tersebut diberikan, anak-anak sekolah itu diperiksa dengan alat radiologi canggih yang bernama MR Spectometri. Tertampak area otak yang menjadi pusat senang – bahagia (nukleus accumban) mengalami eskalasi listrik dan didapatkan neurotransmiter dopamin dan serotonin (zat kimia otak yang menyebabkan rasa bahagia).
Setelah diberi uang saku, para siswa diberi kebebasan untuk membelanjakannya. Boleh makanan, minuman atau mainan, atau boleh diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Sesaat setelah dibelanjakan, lalu para siswa itu diperiksa kembali dengan menggunakan MR spectometri tadi. Ternyata hasilnya menakjubkan. Kelompok anak yang menggunakan uang saku untuk membantu orang yang membutuhkan/kesusahan, mengalami eskalasi listrik lagi di nukleus accumban, sedangkan kelompok yang membelanjakan di luar itu, tidak. Artinya bahwa memberi sedekah itu menimbulkan rasa bahagia bagi yang melakukannya.
Terhadap orang yang berdusta juga dilakukan penelitian. Ternyata saat seseorang berdusta, dikeluarkanlah neurotransmiter sangat banyak di daerah limbik (daerah yang mengatur emosi). Dan sifat neurotransmiter ini “merusak” dan mempengaruhi sistem tubuh lainnya secara negatif. Akibatnya jantung berdetak kencang, tensi naik, dan napas tersengal.
Kondisi ini bila berulang dalam jangka lama tidak baik bagi kualitas pembuluh darah manusia (sel endotel) sehingga berisiko timbulnya beberapa penyakit, seperti stroke, jantung koroner, dan lainnya.
Bukan hanya itu, menjaga pandangan mata dari hal yang diharamkan baik saat puasa Ramadhan atau bulan biasa juga diteliti dan hasilnya sangat mencengangkan. Diketahui ternyata pula memori manusia lebih banyak diisi oleh stimulus penglihatan daripada indera lainnya. Serabut saraf penglihatan yang berjumlah miliaran sel otak berada di otak sebelah belakang (lobus occipitalis) akan langsung terhubung dengan area memori (area hipokampus dan amigdala).
Sementara itu dalam sebuah tulisan Koran Republika edisi Jumat 12 Mei 2017 halaman 6 menyoroti kaitan antara mulut termasuk organ lidah dengan saraf-saraf di otak, khususnya neuron yang berada di dalam lobus frontalis, serta bagian tubuh lain yaitu pre-area motorik-motorik untuk mengeluarkan suara. Sebut saja gerakan mulut, lidah, gigi, langit-langit, tenggorokan, bibir dan organ lainnya untuk mengeluarkan suara. Baik lafaz maupun intonasi. Mungkin ini yang dalam pelajaran Tahsin Al-Qur’an disebut Mahrojal huruf.
Dalam studi Psikologi Komunikasi, kaitan antara paparan pesan (message) atau peristiwa dengan otak dan perilaku manusia diperdalam lagi. Berlatar belakang ditemukannya seorang perempuan beserta anak gadisnya yang lari dari rumahnya karena takut pada KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dilakukan suaminya terhadap anggota keluarganya dan terutama anak gadisnya yang diisolasi di sebuah kamar tanpa diajak bicara sama sekali kecuali memberikan makan dan minum serta pakaian, sang gadis mengalami tidak bisa berbicara sama sekali. Kalaupun keluar suara dari mulutnya, tidak jelas dan asing. Kagak nyambung.
Tubuhnya lemah dan terbungkuk serta tak bisa berjalan akibat dipasung. Kepandaiannya mirip anak satu tahun. Kemudian pada saat ayah mereka mau disidangkan dalam pengadilan hari itu, sang ayah pembenci anak gadisnya itu bunuh diri dengan pistolnya. Di dekatnya terdapat secarik kertas bertulisan singkat : “Dunia tidak akan pernah mengerti”.
Kontan saja, para pakar Psikologi, Neurolog atau ahli Otak, Linguistik, juga Komunikasi berusaha memecahkan misteri menggemparkan rasa kemanusiaan di California AS tahun 1970 tersebut. Prof Susan Curtis mencurahkan waktunya tujuh tahun untuk meneliti sang gadis bernama Genie yang tak pernah diberi kesempatan berkomunikasi itu (Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, 1986).
Komunikasi adalah penyampaian energi dari alat-alat inderawi ke otak pada peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi pada proses saling pengaruh di antara berbagai sistem dalam organisme dengan melibatkan jutaan bahkan miliaran sel saraf di otak kita.
Lalu terjadilah proses persepsi yang mengagumkan. Yaitu bagian neuron, dendrit (penerima informasi), soma mengolah informasi tadi. Ada pun axon adalah kabel miniatur yang menyampaikan informasi dari indera ke otak, dari otak ke otot, atau dari neuron satu ke neuron lainnya. Nah, di ujung axon terdapat terminal knops ke segala arah dalam tubuh manusia.
Untuk itu kiranya perlu dan penting kita dalami dan pahami proses terbentuknya kata atau kalimat yang di hilirnya mengeluarkan suara di saat berbicara atau berkomunikasi. Karenanya Nabi Saw bersabda : “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam,” (Bukhari). Terkhusus buat para akademisi Ilmu Komunikasi dan praktisi Komunikasi seperti Ustadz Jurnalis, Public Relations Manager, Juru Bicara, Pendidik dan Pendakwah.
Contoh kasus dapat disebutkan luncuran kata kata Ahok yang akhirnya divonis dua tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang dipimpin Dwiarso Budi Santiarto pada 9 Mei 2017 silam. Kini sang Hakim berintegritas tersebut menjabat sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung RI.
Kasus salah bicara lainnya yang menghebohkan adalah ucapan anggota parlemen Komisi III Arteria Dahlan tentang pemakaian bahasa Sunda di rapat dinas Kejati Jabar. Betul, Arteria kemudian meminta maaf, tapi tokh catatan kelam yang menohok itu tak akan hilang dalam waktu singkat.
Peristiwa itu menjadi catatan sejarah tersendiri. Bicara serampangan juga dilakukan oleh Sitti Hikmawatti dari KPAI yang mengatakan seorang perempuan bisa hamil bila sekolam renang dengan laki-laki yang orgasme di dekatnya. Belum lagi contoh-contoh kasus pengaduan berdasarkan Undang Undang ITE yang sebagian praktisi dan akademisi menilai undang-undang tersebut dapat menjebak politisi dan ulama serta jurnalis, yang sesungguhnya hal itu berpotensi bertentangan dengan Konstitusi kita yang termaktub dalam pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Juga UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Selain itu, kalau boleh beropini, adalah kekurangan dalam beracara di dalam sidang Pengadilan yang memeriksa terdakwa Ahok dan terdakwa serupa lainnya adalah tidak tampilnya Ahli Komunikasi sebagai Saksi Ahli. Padahal di Fikom UNPAD cukup banyak Guru Besar Ilmu Komunikasi, sebut saja Prof Deddy Mulyana Ph.D atau di Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) serta tentu saja perlunya saksi Ahli Kedokteran Saraf dan Ahli Psikologi.
Ikhwal kasus salah bicara Arteria Dahlan, Prof Deddy Mulyana mengungkapkan adanya gejala sindrom OBB alias Orang Berkuasa Baru. Dalam teori konsep diri disebut “gegar budaya” ketika mengalami perubahan identitas, yaitu kesadaran psikologis baru dan menuntut peran baru dalam lingkungan sosial baru (Mulyana, 2015, Pikiran Rakyat, 2022).
Lebih jauh, perubahan identitas, mensyaratkan evaluasi baru tentang diri dan orang lain, tentang peristiwa, tindakan dan obyek. Konsekuensinya, sang aktor berharap mendapatkan citra diri baru, bahasa diri baru, hubungan baru dengan orang lain, dan dengan struktur sosial (Straus, 1959, dan Denzin, 1987).
Alfa-Omega, berbicara memang kudu hati hati. Pepatah Arab bilang :
“Salamatul insan fi khifdil lisan – Keselamatan seseorang terletak pada kemampuan dirinya dalam mengendalikan dan menata lisannya”. Pepatah Arab lainnya yang populer : “Hamba terluka karena pedang, dapat kucari obatnya. Hamba terluka karena kata-kata, hendak kemana kucari obatnya?!”
Karenanya tak aneh kalau Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq lebih suka menggigit kerikil di mulutnya ketimbang berbicara yang tidak berfaedah. Nabi Saw dalam shahihnya mengatakan, “Banyak penghuni neraka itu disebabkan oleh mulutnya dan selangkangannya,” (Hadis Bukhari). Dalam Al-Qur’an kita banyak menemukan perintah Allah untuk berbicara baik alias Qaulan Makrufa, berbicara benar alias Qaulan Shadida, dan berbicara lembut alias Qaulan Layyinah.
Lantas bagaimana dengan para Buzzer yang sehari-harinya memproduksi fitnah dan caci-maki terhadap lawan politik “bohir” atau boss yang membayarnya?!
Pertama, Emas dan Loyang itu tak akan tertukar. Nabi Daud As, Nabi Sulaiman As, dan Nabi Muhammad Saw jelas-jelas berbeda secara laten dan fundamental, dan tak akan pernah tertukar dengan Firaun, Namruz, Abu Jahal dan Abu Lahab. Emas bakal tetap emas. Loyang, yah, tetap loyang juga di mana pun adanya. Kedua, sekali pun mereka mencoba membikin kitab suci sendiri sebagai tandingan untuk memolesnya, percuma saja. Allah mengingatkan dan menegaskan dalam firman-Nya yang suci :
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, Kami jadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan mereka yang buruk, sehingga mereka bergelimang dalam kesesatan,” QS An-Naml/27 Ayat 4.
Perihal bicara Allah mengingatkan : “Tiada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat,” QS Qaf/50 Ayat 18.
Nah, di hari-hari shaum Ramadhan 1444 Hijriah ini, yang kita sebut juga sebagai “bulan tarbiyah” atau pembelajaran, ada baiknya mulai menata bicara kita agar tertata dengan baik. Mulailah dengan membersihkan hati dan pikiran kita dengan “rinso” istighfar dan sayyidul istighfar dan taubatan nasuha, kemudian sirami dengan butiran-butiran kristal dzikrullah, serta selimuti lahir batin kita dengan selimut iman dan takwa termasuk berzakat, bersedekah, berinfak, dan amaliah kebajikan lainnya.
Perihal komunikasi yang efektif A. Craig Baird dkk dalam bukunya Essential of General Speech Communication, 1973, mengatakan, komunikasi yang efektif membutuhkan kepekaan dan ketrampilan yang hanya dapat kita lakukan setelah kita mempelajari proses komunikasi dan kesadaran akan apa yang kita dan orang lain lakukan ketika kita sedang berkomunikasi.
Mempelajari komunikasi yang efektif pada dasarnya adalah berusaha memahami apa yang menyebabkan orang lain berperilaku sebagaimana yang komunikator lakukan. Misal oknum Buzzer bayaran yang membenci Anies Baswedan dengan saban waktu menjelek-jelekkannya, eh, suatu hari berubah dan insyaf menjadi netral, lalu bersimpati kepada Anies Baswedan yang memang gagah, ganteng, cerdas, berpikir global dan berhati sufi, maka itu tandanya berhasil berkomunikasi secara efektif.
Ringkasnya, komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang efeknya sesuai dengan maksud dan tujuan kita berkomunikasi. Yaitu perubahan opini, perubahan sikap, dan perubahan perilaku seseorang. Misal seseorang yang tadinya membenci kita menjadi netral dan selanjutnya menjadi mencintai kita. Misal, yang tadinya tidak tahu Depokrayanews.com kemudian berubah menjadi tahu dan pencinta Depokrayanews.com.**
Dindin Machfudz
Penulis Buku From Astra To Baitullah/Pengurus Pusat ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia) 1998 – 2008
Comment