Oleh: Rudi Murodi
Ketua KTNA Kota Depok
Food Estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan.
Semangatnya multisektor. Artinya setiap lembaga yang terlibat mestinya mampu melepas ego sektornya dan membangun keserempakan melalui kolaborasi.
Di sisi lain, ada juga yang mempersepsikan Food Estate adalah istilah populer dari kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas (>25 ha) yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), modal, serta organisasi dan manajemen modern.
Program Food Estate dikembangkan pemerintah untuk meningkatkan ketersediaan pangan menuju ketahanan pangan yang kokoh di suatu daerah agar terjadi pemerataan dan menguatkan pangan nasional serta meningkatkan laju positif ekspor pertanian.
Salah satu komoditas penting yang sekarang ini dikembangkan adalah hortikultura. Beberapa daerah lebih memilih untuk menyebut “Kampung Hortikultura”.
Hortikultura sendiri merupakan gabungan bahasa Latin. Hortus yang mengandung arti kebun dan culture yang berarti bercocok tanam.
Hortikultura bisa didefinisikan sebagai cara budidaya tanaman yang dilakukan di kebun dan halaman rumah. Bila dicermati dari berbagai jenis komoditasnya, hortikultura terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman obat dan tanaman hias.
Jenis tanaman hortikultura mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut :
1. Mudah atau cepat busuk. Tetapi selalu dibutuhkan setiap hari dalam keadaan segar.
2. Memiliki nilai estetika. Jadi harus memenuhi keinginan masyarakat umum.
3. Produksinya musiman. Beberapa diantaranya tidak tersedia sepanjang tahun.
Dilihat dari sisi regulasi setingkat Undang Undang, baru pada tahun 2010, kita memiliki Undang Undang tentang hortikultura, yakni UU No. 13 Tahun 2010.
Artinya pengaturan terhadap pengembangan komoditas hortikultura baru berjalan sekitar 11 tahun. Padahal, bila kita tengok potensi yang ada, hortikultura merupakan kekayaan bangsa yang sangat berharga untuk dikembangkan lebih lanjut.
Sekarang ini, sedang tren yang disebut dengan “pertanian perkotaan” (urban farming). Kegiatan warga perkotaan ini, umumnya memilih komoditas sayur-sayuran.
Hal ini mereka lakukan karena hortikultura memberikan manfaat bagi masyrakat dalam penyediaan makanan sehat dan bermanfaat bagi penghilang stres atau kepenatan ketika berada di areal perkotaan. Dengan adanya tanaman Hortikultura warga perkotaan dapat melihat sesuatu yang alami dan menyejukan.
Pertanian urban (urban farming) adalah praktik budidaya, pemrosesan, dan disribusi bahan pangan di atau sekitar kota.
Pertanian urban juga bisa melibatkan peternakan, budidaya perairan, wanatani, dan hortikultura. Dalam arti luas, pertanian urban mendeskripsikan seluruh sistem produksi pangan yang terjadi di perkotaan.
Tim konten “dekuroma” menyatakan, awalnya, konsep berkebun di lahan terbatas ini hanyalah sebatas inisiasi dari segelintir komunitas pecinta lingkungan yang bergerak secara mandiri. Kemudian, urban farming pun berkembang secara masif menjelma menjadi tren gaya hidup urban.
Urban farming yang berarti bercocok tanam di lingkungan rumah perkotaan dianggap beriringan dengan keinginan masyarakat kota untuk menjalani gaya hidup sehat.
Pertanian urban, kini menggeliat di berbagai daerah, terutama yang kepala daerah nya betul-betul mencintai pertanian.
Kita jangan berharap akan berkembangnya pertanian urban kalau bupati atau walikotanya tidak senang terhadap pertanian.
Hal ini menjadi penting untuk dicermati, karena pengelolaan pertanian urban jelas berbeda dengan pertanian perdesaan, yang umum nya membutuhkan hamparan lahan luas.
Pertanian urban lebih mengedepan sebagai gaya hidup masyarakat perkotaan. Mereka menggarap pertanian urban bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Mata pencaharian utama mereka bukan pertanian urban. Pekerjaan mereka ada yang pegawai negeri, anggota DPRD, pengusaha dan lain sebagainya.
Hal ini sangat bertolak-belakang dengan mereka yang berkiprah di perdesaan. Bertani merupakan mata pencaharian pokok sehari-hari nya. Bila mereka tidak bertani dijamin halal mereka tidak akan mampu menyambung nyawa.
Namun demikian, bagi sebagian yang menanamnya, pertanian urban dapat dijadikan sebagai tambahan konsumsi makan sehari-hari bagi sebuah keluarga, khususnya sayuran. Sebut saja kita akan membuat sambal dadak, namun kita kehabisan cabe rawit, kalau saja kita menanam di buruan ( halaman) rumah, maka kita pun tinggal memetik dan tidak perlu beli ke warung.
Hampir tidak jauh berbeda dengan pertanian perkotaan, kegiatan kampung hortikultura juga memberi prioritas pada pengembangan budidaya hortikultura. Bedanya terletak pada skala usaha nya. Bila pertanian perkotaan digarap dalam lahan yang relatif terbatas, maka kampung hortikultura dikembangkan dalam lahan yang cukup luas diatas 25 hektar.
Kampung Hortikultura atau Food Estate Hortikultura yang dikembangkan di Kabupaten Garut, Jawa Barat misalnya, lebih menekankan kepada pengembangan tanaman obat-obatan seperti jahe merah, kunyit, kunir dan lain sebagai nya.
Pola pengembangannya diarahkan untuk ekspor ke negara-negara sahabat atau untuk memenuhi keperluan dunia usaha di dalam negeri seperti Sido Muncul.
Kampung Hortikultura dirancang dalam skala bisnis dan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Itu sebabnya, sangat wajar jika model pengembangan usahanya dirumuskan melalui agribisnis, bahkan agroindustri perdesaan. Keikut-sertaan pentahelix menjadi hal yang sangat mendasar. Sinergi dan kolaborasi antara Pemerintah, Dunia Usaha, Akademisi, Komunitas, dan LSM mutlak perlu digarap.
Langkah pemerintah mengembangkan Food Estate Hortikultura di beberapa daerah yang memiliki potensi pengembangan komoditas hortikultura seperti Garut, Bantul, Wonosobo dan Temanggung, kelihatan nya perlu untuk didukung dengan sepenuh hati.
Kita percaya pemerintah akan melibatkan para petani horti dalam pelaksanaannya. Bagaimanapun hal ini merupakan langkah nyata ke arah terwujudnya lumbung pangan dunia tahun 2045. **
Comment