Oleh Dindin M. Machfudz, *)
BOLEH-BOLEH saja hakim membantah atau menolak “tudingan” masyarakat akan adanya oknum hakim yang berperilaku primitif, zalim, licik, culas, hina, nyeleneh, brengsek, khianat, pengecut dan perilaku tercela lainnya.
Tapi, toh, kenyataannya memang ada. Perilaku tercela bernaluri rendah ini kita saksikan dan rasakan secara afdol dan masif. Terutama ketika kita menyoroti oknum-oknum hakim ini dalam memeriksa dan menjatuhkan vonisnya di peradilan yang dinilai tidak adil, tidak waras, dan menyakiti rasa keadilan.
Sebut saja hakim yang mengadili dan membebaskan terdakwa dua oknum polisi, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella, yang terlibat dalam perkara pembunuhan terhadap 6 laskar FPI di KM 50 yang sedang mengawal Habib Rizieq Shihab pada Desember 2020.
Selain “Locusnya” sendiri dihancurkan, rekaman CCTV-nya dinyatakan tidak ada dikarenakan pesawat CCTV-nya rusak, barang bukti hal yang disodorkan “palsu” berupa pedang dan senjata tajam, termasuk saksi-saksi yang dihadapkan meringankan para terdakwa. Wis, pokoke nyaris mirip dengan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua dengan terdakwa bekas Polisi Sambo yang tempo hari divonis hukuman mati oleh Majales Hakim yang “jempolan” dan berintegritas.
Ajaibnya, dakwaan pembunuhan di KM 50 tersebut dinyatakan terbukti, tapi tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf, serta merupakan usaha pembelaan diri petugas polisi yang berlebihan. “Untuk itu Majelis Hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan, memulihkan hak-hak terdakwa, menetapkan barang bukti seluruhnya dikembalikan ke Jaksa Penuntut Umum,” ujar Hakim Ketua Muhammad Arif Nuryanta dalam amar putusannya (Merdeka.com, 18/3/2022. Juga tempo.co, detik.com, sindonews.com).
Sungguh, sebuah “kejanggalan” yang memantik kecurigaan dan purbasangka khalayak ramai dan opini negatif menyangkut integritas profesional dan integritas moral hakim-hakim dimaksud. Termasuk kecurigaan bekerjanya gerakan atau operasi “mafia peradilan” sebagaimana kerap dikumandangkan oleh Menko Polhukam Prof Mahfud MD di berbagai kesempatan.
Contoh kedua, dan ini paling menghebohkan, adalah murah-meriahnya atau rendahnya vonis hakim yang dijatuhkan bagi para terdakwa yang telah menyebabkan hilangnya nyawa 135 orang penonton sepak bola yang sebagian anak-anak, serta ratusan lainnya luka-luka di stadion Kanjuruhan, Malang, pada Oktober 2022 silam.
Di kasus ini, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang dipimpin oleh Ahmad Sidqi Amsya pada 16 Maret 2023 memvonis bebas petugas polisi terdakwa ex-Kasat Samapta Polres Malang Bambang Sidik Ahmad dan Kabag Ops Polres Malang Wahyu Setyo Pranoto. Sementara terhadap Dan Kompi Brimob Polda Jatim Hasdarman, Majelis Hakim memvonis 1,5 tahun penjara, terhadap Ketua Panitia pertandingan Abdul Haris 1,5 tahun penjara, dan terhadap Ketua Sekuriti Suka Sudimo 1 tahun penjara.
“Vonis hakim yang janggal,” ujar Andy Irfan, Sekjen Federasi Kontras. “Kita akan minta Komisi Yudisial untuk memeriksa hakim bersangkutan,” sambungnya. Sementara perwakilan keluarga 135 korban tewas kecewa berat dan mengungkapkan, “Kepolisian itu kayak Malaikat Pencabut Nyawa saja. Bebas hukum walau telah merenggut 135 nyawa tidak berdosa. Ini sangat menyakiti, “ ucapnya.
Suatu “aib” atau kejanggalan yang memerlukan operasi penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut dengan saksama dan kritis. Demi tegaknya hukum yang berkeadilan. “Sebab hukum yang tidak adil sama saja dengan tidak ada hukum,” ungkap filsuf Augustine of Hippo (354 – 430 Masehi) tegas.
Sebelumnya, vonis majelis hakim yang membikin kita mengelus dada, yaitu vonis 4 tahun penjara bagi terdakwa ulama kharismatik Habib Rizieq Shihab pimpinan FPI atas tuduhan pasal “kebohongan publik” dan menimbulkan keresahan terkait hasil tes swab di RS Ummi Bogor.
Padahal jika saja Habib mengatakan dirinya sakit saat itu, justru yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu berakibat fatal : minimal kerumunan massal jutaan simpatisannya yang datang dari berbagai kota sebagaimana saat kepulangannya dari Tanah Suci Arab Saudi menuju kediamannya di Petamburan dari Bandara Soekarno – Hatta tanggal 10 November 2020.
Tapi pernyataan Habib yang baik, simpatik dan menyejukan itu justru dipersepsi “melenceng” alias abnormal oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dipimpin oleh Hakim Ketua Khadwanto. Suatu bentuk distorsi dalam proses berpikir kritis, logis, rasional, dialektika.
Tepatnya, kekeliruan akibat cara berpikir yang cacat, tidak teliti, tidak akurat yang bersumber dari naluri rendah, seperti habit, rakus atau khianat terhadap hukum dan kebenaran. Padahal Allah dalam QS An-Nisa/4 ayat 5 memerintahkan dan menegaskan : “Dan apabila menghukum di antara manusia, hendaklah menghukum dengan adil.”
Allah Yang Maha Suci juga menegaskan : “Sesunguhnya Kami (Allah) menurunkan Kitab kepada engkau dengan sebenarnya, supaya engkau dapat mengadili manusia menurut yang telah diperlihatkan Allah kepada engkau. Janganlah engkau menjadi pembela orang-orang yang khianat,” (QS An-Nisa/4 Ayat 105). Pengertian “khianat” di sini oleh “Singa Podium” dari Persyarikatan Muhammadiyah Prof Dr Mr Kasman Singodimedjo ditafsirkan sebagai khianat kepada Al-Qur’an, khianat terhadap Sunah Rasul, dan juga janganlah berkhianat kepada amanat yang dipercayakan kepada kamu, sedangkan kamu mengetahuinya (Prof Dr Mr Kasman Singodimedjo, Hal Kedaulatan, SM No 6 dan 7 Thn ke-58, 1978 dan www.ibtimes.id).
Khusus kepada segenap hamba Allah teristimewa para hakim yang sesat, Allah mengingatkan dalam QS Al-An’am Ayat 153 : “Sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka turutlah! Dan janganlah kamu turutkan jalan-jalan yang lain, karena nanti kamu terpisah dari jalan Allah. Itulah yang diperintahkan Allah kepada kamu, mudah-mudahan kamu bertakwa (terpelihara dari kejahatan).”
Tapi, toh, tidak semua hakim taat kepada Undang Undang Kehakiman, Kode Etik Hakim, atau kaidah atau norma yang berlaku. Contohnya adalah Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili sengketa Partai Prima versus KPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di sini, Majelis Hakim yang dipimpin T. Oyong lagi-lagi bertindak “ngawur” dengan menjatuhkan vonis yang melawan hukum yang statusnya atau levelnya lebih tinggi, yaitu Konstitusi UUD 1945 yang memerintahkan Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan UU tentang Pemilu dengan segala rinciannya perihal pelaksanaan Pemilu.
Sang hakim yang “buta” dan “bodoh” ini, meminjam istilah dalam hadis Nabi Saw, menghukum dan memerintahkan KPU untuk mengundurkan Pemilu 2024 selama 2 tahun 4 bulan 7 hari (tempo.co., 3 Maret 2023).
***
TENTUNYA, tidak semua hakim nihil integritas moral dan integritas profesionalnya (Dindin M, Machfudz, Integritas Moral Hakim Indonesia, Digugat?, Kompas, 1 November 1980). Nah, Majelis Hakim yang ini “jempolan” dan “mantul” alias mantap betul. Mereka tiada lain adalah Majelis Hakim yang memutus terdakwa perkara “Sambo” dan geng-nya yang terlibat dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Joshua.
Dalam kasus ini Sambo yang sebelumnya divonis pemecatan tanpa hormat sebagai Polisi berpangkat Inspektur Jenderal oleh sidang Kode Etika Polri, lantas dipidana hukuman mati, sementara istrinya Putri Candrawati dihukum seumur hidup oleh Majalis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso
Sebagai hakim di zamannya Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda : “Ada tiga macam hakim, hanya satu di antaranya yang masuk surga, sedangkan dua hakim lainnya masuk neraka. Ada pun yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui al-haq (kebenaran) dan memutuskan perkaranya dengan kebenaran itu. Sementara hakim yang mengetahui kebenaran lalu berbuat zalim (tidak adil) dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Dan seorang lagi, hakim yang memutuskan perkara (memvonis) karena ‘buta’ dan bodoh (hukum), maka ia juga masuk neraka,” (Hadis Riwayat Abdu Dawud).
Dengan fakta, realitas dan fenomena hakim di atas, penulis mencoba memahami dan menganalisis kenapa hakim-hakim tersebut melakukan perbuatan tercela dan berkhianat terhadap tugas dan wewenangnya sebagai penegak keadilan.
Lagi pula, masing-masing lembaga atau institusi penegak hukum tersebut memiliki “role model” atau teladan abadi sebagai pendekar hukum yang melegenda. Sebut saja : Hakim Agung Bismar Siregar, Hakim Agung H. Adi Andojo Soetjipto, Hakim Agung Artidjo Alkostar di Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Gatot Taroenamihardja, Jaksa Agung Kasman Singodimedjo, Jaksa Agung Baharuddin Muhammad Lopa di Kejagung RI, Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso dan Kapolri Jenderal M Hasan di Kepolisian RI, Pengacara Adnan Buyung Nasution dan Yap Thiam Hien di profesi Advokat (Humas Kejagung RI, Majalah Eksekutif, dan sumber lainnya).
Sedihnya, tingkat kerusakan atau derajat destruktifnya kini lebih luas, yaitu melanda Hakim Agung di Mahkamah Agung termasuk yang sedang diadili, yaitu Sudradjat Dimyati, sebelumnya adalah Itong Hidayat, Edy Wibowo, Gazalba Saleh; dan bahkan Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi yang menyandang predikat “Negarawan”. Sebut saja Akil Mochtar, mantan Ketua MK yang divonis hukuman seumur hidup (BBC News, 30 Juni 2014) dan Patrialis Akbar yang ditangkap oleh KPK dan divonis 8 tahun penjara (Kompas.com, 4/9/2017).
Hakim sendiri merupakan profesi yang mulia serta ujung dari serangkaian proses pencarian keadilan di alam fana ini, sebelum tiba di peradilan alam Barzah yang saksinya adalah tangan, kaki dan kulit kita sebagaimana yang termaktub dalam QS Ya Sin/36 ayat 65 dan QS Fusilat/41 ayat 21. Allah Yang Maha Kuasa tak lupa mengingatkan kita dalam QS An-Nisa/4 ayat 58 : “ .. Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Merujuk kepada tulisan Prof Dr Asep Usman Ismail, Guru Besar UIN Jakarta, dalam bukunya Akhlak Tasawuf, terjadinya penyelewengan atau pengkhianatan terhadap nilai-nilai mulia dan kesalihan disebabkan oleh kondisi iman seseorang. Term “Iman” sendiri berasal dari kata Arab “al-Amn” yang bermakna “aman” atau “rasa aman” sebagai lawan kata “al-Khauf” alias takut atau cemas. “Selain itu huruf akar kata tersebut juga membentuk term “al-amanah” alias “dapat dipercaya”, sedangkan lawan katanya adalah “al-kiyanah” yang berarti “khianat” (Prof Dr Asep Usman Ismail, Akhlak Tasawuf, 2023, hal 2-3).
Alfa-Omega, berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hakim yang berkhianat kepada kebenaran akan selalu dirundung rasa cemas atau takut, sementara hakim yang selalu istiqomah dan teguh kepada kebenaran dan amanat yang dititipkan di pundaknya, akan merasa aman dan tentram hidupnya. Lebih lanjut pemikir Islam al-Raghib al-Isfahani mengungkapkan bahwa iman berasal dari kata “al-amn” yang bermakna “tumani’nat al-nafs” alias ketenangan jiwa dikarenakan hilangnya perasaan takut atau cemas dan adanya rasa aman.
Bahkan bukan rasa aman bagi dirinya belaka, melainkan rasa aman bagi orang lain sebab iman itu menumbuhkan sifat dan sikap amanah serta dapat dipercaya.
Menurut jumhur ulama, seorang muslim yang melakukan dosa besar seperti korupsi, berzina, menenggak minuman keras dan membunuh menyebabkan dirinya “al-fasiqin” alias orang-orang fasik yang secara etimologi adalah orang-orang yang “retak” imannya, menjadi hina dan terkutuk. Sementara iman menjadikan dirinya mulia dan terpuji. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas mengatakan : “Iman itu amanah, adalah tidak beragama bagi orang yang tidak amanah.”
Karena itu, hakim atau politisi atau pejabat negara termasuk pegawai Pajak yang melakukan perbuatan khianat terhadap kebenaran, amanah dan keadilan sejatinya selalu dirundung kecemasan dalam batinnya, meski dikatakan bahwa para koruptor itu tidak takut dipenjara, sebab yang mereka takutkan dan cemaskan adalah hidupnya miskin. Syukur, bilamana UU Perampasan Aset sudah diundangkan.
Karena para oknum hakim itu masih berkhianat, berbuat hina dan tercela? Tentunya, bakal panjang ceritanya. Bisa lantaran habit, adanya peluang, tempaan dalam keluarga, turunan dari DNA leluhurnya, fitrahnya, rakus, serakah, inner cyrcle-nya, imbas pengaruh arus global hedonisme dan pragmatisme. Namun yang jelas, terjadinya perilaku tercela dan maksiat oknum hakim di semua level peradilan tersebut adalah akibat dari “hawa nafsu” yang bersarang dalam dirinya.
Dalam konteks ini Guru Besar Tasawuf Ibn Atha’illah (1350 Masehi) dari Mesir berujar : “Pangkal segala maksiat, kelalaian dan syahwat adalah pengumbaran nafsu. Dan pangkal segala ketaatan , kewaspadaan, dan kebajikan adalah pengekangan nafsu.” Lebih lanjut Atha’illah mengatakan, “Bersahabat dengan orang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya lebih baik bagimu ketimbang bersahabat dengan orang pintar yang memperturutkan hawa nafsunya.” (Ibn Atha’illah al-Sakandari, Bahjat al-Nufus, 2000). Di sini, hawa nafsu didefinisikan sebagai sesuatu yang tak boleh dibiarkan mendikte hidup kita, yang kepintaran-sejati kita ditentukan oleh seberapa jauh kita bisa mengekangnya.
Hal senada, yaitu hawa nafsu, juga menjadi tilikan ulama dan pemikir Islam Imam Al-Gazali dalam bukunya Disciplining The Soul : Breaking The Two Desires, 1995, dan Ibn Miskawaih dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq, 1985. Masing-masing dengan pendekatannya yang spesifik. Al-Gazali dengan empat induk dan prinsip akhlak, yaitu dengan meneropong : kepandaian, keberanian, kesederhanaan, dan keseimbangan; sementara Ibn Miskawaih dengan empat keutamaan manusia yang meliputi : kearifan, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. **
Dindin M. Machfudz
Pemerhati Komunikasi, Interaksi Sosial dan Masalah Keadilan /Pemenang Lomba Karya Tulis PTIK dan LIPI tentang Kamtibmas dan Kepolisian, 1985/Pengurus Pusat ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia), 1998-2008
Comment