Depokrayanews.com- Tingginya angka perceraian karena gugatan dari istri, ternyata tidak hanya di Depok, tapi juga terjadi di Jakarta.
Hal itu terjadi karena beberapa sebab, antara lain karena penghasilan suami lebih rendah, suami selingkuh, layanan seks yang tidak memuaskan, suami selingkuh dengan sesama sejenis dan lain sebagainya..
Data dari Pengadilan Tinggi Agama (PTA) DKI Jakarta, menunjukan angka pengajuan gugatan cerai dari tahun ke tahun meningkat. Jumlahnya mencapai belasan ribu dalam satu tahun, dan gugatan cerai diajukan istri terhadap suaminya.
“Tingkat perceraian terus meningkat dan banyak istri yang menggugat cerai kepada suaminya,” kata Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag) M Amin dan Psikolog Ratih Ibrahim, di Jakarta, Minggu (6/8/2017).
Menurut Amin, perceraian banyak menimpa keluarga yang belum lima tahun menikah. “Ini menjadi keprihatinan kami, karena dampak perceraian menimpa anak – anak mereka,” kata dia
Pada 2014, tercatat 15.935 perkara cerai diajukan. Dari jumlah tersebut, 10.401 perkara dikabulkan. Pada 2015 tercatat 15.930 pengajuan gugat cerai yang diterima seluruh pengadilan agama di lima wilayah Jakarta. Dari jumlah tersebut, 9.836 perkara yang dikabulkan.
Secara nasional, tahun 2016 data Mahkamah Agung (MA), pihak istri lebih banyak mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama (PA) dengan total 224.240 laporan yang diterima.
Dari keseluruhan, terdapat 152.395 pasangan suami istri resmi diceraikan secara hukum oleh PA. Sedangkan laporan lainnya belum terselesaikan dan tidak bisa diputuskan karena berbagai hal, mulai dari dicabut, ditolak, tidak diterima, atau dicoret dari register.
Kenaikan angka perceraian mencapai 16-20 persen berdasarkan data yang didapat sejak tahun 2009 hingga 2016. Hanya pada tahun 2011, angka perceraian sempat turun, yaitu sebanyak 158.119 dari 285.184 sidang talak tahun sebelumnya.
Angka perceraian tertinggi terjadi pada tahun 2012. Pada tahun tersebut, angka perceraian mencapai 372.557. Dengan kata lain, terjadi 40 perceraian/jamnya di Indoneisa.
Diungkapkan, kasus perceraian tersebut dilakukan oleh pasangan yang berusia di bawah 35 tahun. Selain itu, meningkatnya jumlah pernikahan muda selama sepuluh tahun terakhir berbanding lurus dengan meningkatnya angka perceraian.
Tahun 2013 lalu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sudah mengabarkan soal angka perceraian di Indonesia yang menduduki peringkat tertinggi di Asia Pasifik. Angka perceraian tersebut tak kunjung menurun di tahun-tahun berikutnya.
Fenomena banyaknya istri minta cerai diakui oleh Ratih Ibrahim, psikolog. “Dulu klien yang datang ke saya perempuan dan nangis-nangis, karena ditinggal suami. Sekarang terbalik, yang datang laki laki dan nangis-nangis karena ditinggal isterinya, “ kata Ratih.
Menurut Psikolog lulusan Universitas Indonesia (UI) itu, perempuan menggugat cerai karena berbagai alasan, antara lain karena merasa tidak dihargai, karir lebih bagus, suami posesif, tidak ada kesetaraan, punya ‘bargain power’, dan masyarakat juga semakin toleran terhadap status ‘single parent’.
Menurut dia, perempuan masa kini semakin berdaya dan berani menyatakan ketidak- puasannya dengan kondisi sosial ekonomi yang dirasakan.
“Selain masalah sosial ekonomi, suami tidak bekerja, kehidupan seks yang tidak memuaskan juga menjadi alasan perceraian,” kata Ratih.
Ibu dua anak ini menyatakan, fenomena lain yang muncul adalah perkawinan yang lama tidak menjamin awetnya pernikahan. “Ada pernikahan sudah berlangsung 15 tahun lebih ternyata berakhir dengan perceraian. Ini aneh, tapi ternyata terjadi.” kata dia.
Kasus yang lebih spesifik, ada suaminya yang berselingkuh dengan sesama jenis. “Perempuan kota umumnya siap mental ketika suaminya sukses dan ganteng diperebutkan perempuan lain. Tapi tidak menyangka bahwa suaminya ternyata selingkuh dengan sesama jenis, “ kata dia. (mad/rol)
Comment