DepokRayanews.com- Kemunculan Keraton Agung Sejagat (KAS) di Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah menjadi sorotan banyak pihak.
Pasangan Totok Santoso Hadiningrat dan Dyah Gitarja mendaulat diri sendiri sebagai raja dan ratu. Mereka mengklaim sebagai penerus Kerajaan Majapahit, membuat masyarakat berdatangan ke ‘keraton’ mereka.
Di pekarangan keraton kerajaan tersebut tergeletak batu besar yang dijadikan prasasti. Kemudian di dalam keraton juga ada kolam yang diklaim merupakan sendang. Kolam tersebut terisi air dari sumur yang telah dibor.
Untuk masuk ke keraton tersebut, pengunjung tak perlu mengeluarkan biaya. Namun di sana pengunjung hanya bisa melihat kursi dan meja.
Belakangan, Totok dan Ratu Dyah ditangkap aparat Polda Jawa Tengah. Mereka diduga melakukan penipuan publik.
Berdasarkan pemeriksaan Polda Jawa Tengah, pengikut Kerajaan Agung Sejagat diwajibkan membayar iuran yang besarnya mencapai Rp 30 juta per orang.
Pengikutnya dijanjikan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Untuk meyakinkan pengikutnya, Totok melengkapi dirinya dengan dokumen palsu. Sedikitnya ada sekitar 150 orang terpengaruh dan akhirnya menjadi pengikut Totok.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis menilai, salah satu faktor yang menyebabkan warga menjadi pengikut kelompok KAS itu adalah mencari alternatif harapan di tengah situasi kehidupan serba melarat.
Situasi ekonomi dan sosial masyarakat di akar rumput yang kesulitan, membuat warga mudah terpengaruh iming-iming mesianik.
“Ini bukan proses tiba-tiba. Prosesnya pasti panjang, saya yakin bisa bulanan bahkan bisa tahunan. Dia bisa mulai dari keluarga, dari istri, anak, kemudian teman anaknya, tetangganya,” kata Rissalwan.
Totok yang meminta dipanggil sebagai ‘Sinuwun’ dan istrinya ‘Kanjeng Ratu’ kepada para pengikutnya mengklaim, KAS adalah kekaisaran dunia dan merupakan penerus Kerajaan Majapahit.
Kelompok bentukan Totok mulai menjadi pembicaraan setelah mereka menggelar ‘wilujengan’ dan kirab budaya.
Proses politik dan ekonomi mungkin berpengaruh terhadap masyarakat yang berada di akar rumput dan membuat mereka mencari harapan di tempat lain.
“Di bawah ini mereka mencari alternatif-alternatif lain dan itu suatu hal yang wajar. Jadi itu bercampur baur dengan orang yang mungkin punya keyakinan bahwa dia punya akses supranatural tertentu,” kata dia.
Selain itu, pendiri Kerajaan Agung Sejagat juga mencampur konteks sejarah dan budaya sebagai bungkus untuk menarik pengikut.
Persisnya, bisa dikatakan, mereka menggunakan keagungan sejarah untuk menipu masyarakat yang masih berada dalam sistem sosial feodal ataupun setengah feodal.
Ditambah lagi konteks supranatural saat mereka mengklaim sebagai penerus dinasti kerajaan Majapahit dan menjadi pemilik kekuasaan tertinggi di dunia.
Sementara itu, lanjut Rissalwan, pola yang dilakukan KAS serupa dengan pendiri aliran kepercayaan baru yang sempat menghebohkan Indonesia seperti kelompok Lia Eden dan Gafatar. Dua kelompok tersebut bahkan sempat memiliki ribuan pengikut.
Namun, yang membedakan kelompok Totok dengan pendahulunya adalah tidak mengklaim unsur agama. KAS menggunakan metode formal seperti pembentukan kerajaan, keraton atau sebuah negara baru.
Staf khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo mengatakan, munculnya KAS di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Purworejo, Jawa Tengah sebagai ajaran tak lazim. Menurutnya, klaim Totok dan Dyah Gitarja sebagai raja dan permaisuri di keraton itu telah menyimpang dari sejarah.
Keduanya mengklaim KAS muncul sebagai perwujudan perjanjian 500 tahun lalu yang dibuat antara Kerajaan Majapahit dan Portugis.
Perjanjian itu disebut Totok dibuat pada masa berakhirnya Kerajaan Majapahit tahun 1518. Padahal, berdasarkan catatan sejarah, Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478.
“Sejarah klaim mereka kan tidak pernah berdasarkan fakta dan data, itu kan hanya mitos. Tidak ada sejarah bahwa ada perjanjian Majapahit dengan Portugis itu dari mana klaimnya? kan enggak masuk akal,” kata Romo Benny.
Romo Benny juga menampik anggapan KAS adalah bentuk kebebasan berekspresi karena sudah menimbulkan keresahan masyarakat dan terbukti dalam proses pemeriksaan kepolisian merupakan tindak pidana penipuan.
“Kebebasan itu kan juga harus dibatasi dong, kalau meresahkan bukan berarti bebas sebebas-bebasnya,” ucapnya.
Menurut dia fenomena seperti itu bukan pertama kali terjadi di Indonesia yang ternyata ketika diselidiki hanya kedok untuk melakukan penipuan terhadap pengikutnya. Keberadaan kelompok seperti KAS itu tidak boleh dibiarkan, karena merugiakan masyarakat.
“Sebab kalau tidak kritis kemudian itu dibesarkan orang, kita kan gampang dapat mimpi, kan ini ilusi, sesuatu yang ilusi kalau dipercaya kan bahaya, kan banyak juga kasus seperti ini ternyata kedoknya penipuan. Ingat kasus dulu di Probolinggo, di Jogja, pengumpulan dana, uang, jadi harus lihat motifnya. Itu penting,” kata dia.
Polisi telah menangkap dan menetapkan Totok dan istrinya sebagai tersangka terkait kasus dugaan penipuan berkedok Keraton Agung Sejagat.
Kapolda Jawa Tengah Irjen Rycko Amelza Dahniel mengungkapkan bahwa berdasarkan pemeriksaan, pengikut Totok diwajibkan membayar iuran yang besarnya mencapai puluhan juta rupiah.
“Diwajibkan membayar iuran yang selanjutnya dijanjikan akan memperoleh kehidupan yang lebih baik,” kata Rycko.
Untuk meyakinkan pengikutnya, Totok melengkapi dirinya dengan dokumen palsu yang berhasil menipu sekitar 150 orang dengan iming-iming terbebas dari malapetaka, bencana, dan kehidupan yang lebih baik.
Ricky menjelaskan, Totok memiliki motif untuk menarik dana dari masyarakat dengan menggunakan tipu daya.
“Dengan simbol-simbol kerajaan, tawarkan harapan dengan ideologi, kehidupan akan berubah. Semua simbol itu palsu,” jelasnya.
Totok dan Fanni Aminadia dijerat UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta pasal 378 KuHP tentang penipuan. Sejumlah barang bukti disita, termasuk dokumen yang diduga dipalsukan pelaku.
Totok Santoso yang mengklaim diri sebagai keturunan trah wangsa Sanjaya pendiri Majapahit dan membangun Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, ternyata aslinya adalah pedagang angkringan di Yogyakarta.
Hal itu terungkap setelah aparat Polda Jateng bersama Polsek Godean serta perangkat Desa Ngabangan menggeledah rumah Totok di daerah tersebut.
Warga sekitar merasa lega setelah Totok ditangkap polisi. Sebab, warga menilai aktivitas di rumah Totok cukup meresahkan. Apalagi, rumah itu sebenarnya hanya dikontrak oleh Totok, bukan miliknya pribadi.
Niken Puji Lestari yang rumahnya tak jauh dari kediaman Totok mengungkapkan, bangunan yang ada di sebelah kediaman Totok yang bergelar Sinuhun dikontrak untuk usaha warung angkringan.
“Totok bukanlah asli warga setempat [Ngabangan, Desa Sidoluhur, Kecamatan Godean, Sleman, DIY]. Awalnya, diketahui bangunan yang tepat berada di sebelah rumahnya itu telah dikontrak oleh Totok sebagai lokasi usaha angkringan,” kata Niken.
Selain beroperasi sampai larut malam, ia merasa terganggu karena bau kemenyan sesaji yang kerap muncul hampir tiap malam. “Apalagi rumah kami berdekatan, baunya sampai masuk rumah,” ungkapnya.
Sementara itu, Deki Rimawan menuturkan, di kediaman Totok sering dilakukan piket bergilir, yang rutin berlangsung di halaman rumah (angkringan). “Ada semacam piket rutin, pakai seragam sama seperti yang dilihat di berita-berita,” kata dia. (sumber:suara.com)
Comment