Depokrayanews.com- Masyarakat Indonesia boleh berbangga dengan pencapaian sejumlah atlet di ajang Olimpiade Tokyo 2020.
Mulai dari Greysia Polii/Apriyani Rahayu yang meraih emas dari cabang batminton nomor ganda putri hingga Anthony Sinisuka Ginting yang meraih medali perunggu cabor batminton nomor tunggal putra.
Ternyata, ada sosok yang tak kalah membanggakan selain sederet atlet yang membawa panji Merah Putih di Olimpiade Tokyo 2020. Dia adalah pria asal Sleman bernama Wahyana.
Pria 54 tahun itu yang juga merupakan guru olahraga di SMP Negeri 4 Patuk Gunungkidul ternyata memimpin partai puncak pertandingan batminton tunggal putri pada Senin 2 Agustus 2021 lalu.
Wahyana menjadi wasit pertandingan antara Chen Yufei dari China melawan Tai Tzu Ying asal Taiwan. Pertandingan itu dimenangkan oleh Chen Yufei.
Memimpin partai final Olimpiade ini ternyata merupakan cita-cita yang mampu dituntaskan Wahyana sebelum pensiun tahun depan.
“Kalau menurut saya di event-event besar seperti Asian Games, Olimpiade, ini memang kenangan luar biasa. Hampir semua wasit itu mendambakan bisa bertugas di Olimpiade karena ini merupakan event tertinggi di dunia dan tidak semua wasit bisa terpilih untuk tugas di Olimpiade,” kata Wahyana saat berbincang bersama wartawan melalui sambungan telepon, Selasa 3 Agustus 2021 lalu.
Wahyana menjelaskan, bukan perkara mudah memimpin partai di Olimpiade. Perjalanan panjang harus dilaluinya untuk memiliki lisensi dari Badminton World Federation (BWF) sebagai syarat jadi wasit kompetisi kelas atas.
Sebenarnya, Wahyana tidak mengawali karier sebagai wasit batminton. Kala muda, ia merupakan pemain voli. Namun kariernya tak mencapai pendar. Cedera engkel memaksanya untuk mengakhiri kariernya.
“Karena cedera engkel. Dulu saya cedera engkel cukup lama dan tidak sembuh-sembuh dan dokter menyarankan untuk tidak melanjutkan di voli karena voli sering lompat-lompat,” ucap Wahyana.
“Saya cedera itu tahun 90-an terus berhenti beberapa saat tidak olahraga kemudian kok badannya tambah gemuk, habis jadi atlet kan kalau enggak olahraga gemuk. Nah teman-teman mengajak untuk gerak, ngajak badminton. Ceritanya begitu,” tambah dia.
Pada 1998-2000, Wahyana memulai karier sebagai wasit batminton dari hakim garis. Dia kemudian malang melintang di berbagai kompetisi level kabupaten. Perlahan dengan ketekunanan, kariernya menanjak. Akhirnya pada 2006, dirinya mulai go internasional.
“Saya menjadi wasit internasional terhitung mulai 2006. Jadi bisa dikatakan saya merupakan salah satu wasit senior,” ujarnya.
Wahyana menuturkan, Olimpiade bukanlah turnamen mayor pertamanya. Tercatat dia telah bertugas di Sudirman Cup, PON, Thomas dan Uber Cup, SEA Games, Asian Games hingga Kejuaraan Dunia. Total ada 77 caps internasional dia kantongi sebagai wasit.
“Hampir setiap saya tugas, 99 persen saya sampai final. Maksudnya gini, saya caps internasionalnya sudah 77 atau 78 turnamen ya baik di seluruh dunia. Dari 77-78 itu 99 persen saya tugasnya sampai final,” kata Wahyana.
Pria yang berdomisili di Kecamatan Godean, Sleman ini mengatakan, dari 26 wasit yang bertugas di Olimpiade Tokyo 2020, hanya dia yang berasal dari Indonesia. Dia juga menjadi salah satu yang terbaik. Sebab 5 partai puncak memang dipimpin 5 wasit terbaik.
Memimpin pertandingan atlet antar negara memang jadi pengalaman menarik. Tidak semua atlet paham berbahasa Inggris. Namun kita tahu, bahasa tubuh jadi salah satu bahasa yang paling efektif dalam olahraga.
“Memang tidak semua pemain bisa Bahasa Inggris tetapi apabila tidak jelas kita bisa menggunakan gesture. Jadi gerakan tubuh, memakai tangan, memberikan sinyal yang dimau seperti ini. Kalau masalah kendala peraturan kan kami sudah dibekali dan menguasai peraturan jarang ada kendala itu,” katanya.
“Memang komunikasi kepada pemain yang tidak Bahasa Inggris ini yang kadang-kadang kita harus menggunakan cara agar pemain tersebut bisa tahu,” tambah dia.
Wahyana menceritakan dirinya pernah memimpin pertandingan dua mega bintang.
Memimpin partai pebulu tangkis asal China dan Malaysia itu membutuhkan konsentrasi ekstra. Boleh dikata, Wahyana jangan sampai berkedip di waktu yang tak tepat karena butuh konsentrasi yang tinggi.
“Kalau untuk perorangan yang sangat berkesan adalah saat menjadi wasit pertandingan antara Lee Chong Wei lawan Lin Dan. Itu betul-betul sama-sama mempunyai kualitas yang luar biasa. Jadi di situ membutuhkan konsentrasi yang luar biasa juga,” ceritanya.
Pria yang mengidolai Taufik Hidayat itu berharap, para juniornya di dunia perwasitan bisa mengikuti jejaknya. Mereka tidak boleh hanya menjadi wasit di level nasional saja.
“Kan saya juga pengurus pusat PBSI di bidang perwasitan. Nah saya memang mempunyai program untuk mencetak wasit-wasit muda yang berkualitas. Karena apa? Wasit-wasit yang ada sekarang walaupun itu sertifikat nasional tapi kemampuan Bahasa Inggris-nya itu sangat kurang,” katanya.
Pria yang kerap keliling daerah untuk memberikan penataran itu berharap selain kualitas, wasit-wasit yang muncul harus dengan berbekal Bahasa Inggris. Sehingga tinggal mengasah kemampuan praktik saja.
“Nah kalau mereka sudah punya kemampuan praktik yang bagus, kemampuan Bahasa Inggris yang bagus nah nanti jika ada kesempatan ujian ke tingkat Asia maupun tingkat dunia itu sudah tidak ada kendala,” kata dia.
Sumber:kumparan
Comment