Oleh Dindin M. Machfudz
BOLEH-BOLEH saja penguasa atau sebuah rezim melakukan tipu-tipu kepada publik atau rakyatnya. Boleh saja mereka merencanakan “makar” atau merusak tatanan sosial, tatanan moral, tatanan ekonomi, tatanan kerukunan, tatanan hukum, tatanan kenegaraan, termasuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam konstitusi negaranya yang menjadi hukum tertinggi bagi hukum lain turunannya.
Tetapi tentu saja konsekuensi logisnya harus pula diperhitungkan dan dipertanggung-jawabkannya. Terutama efek sosial destruktifnya yang dahsyat.
Akan halnya dalam konteks kekinian kita bernegara dan berbangsa adalah adanya upaya tersembunyi atau terang-terangan hendak “menabrak” atau “melecehkan” Konstitusi Undang Undang Dasar 1945 demi melanggengkan kekuasaannya yang sudah waktunya berakhir di tahun 2024 mendatang.
Hal dimaksud sedikit – banyak, sadar – tidak sadar melambangkan sikap keserakahan, ketamakan, ambisius dan kesombongan yang sekaligus merendahkan dan melecehkan publik atau rakyatnya selaku pemilik sah kedaulatan negara.
Ada pun kesombongan, berdasarkan sejarahnya berasal dari watak iblis yang menolak saat diperintahkan Tuhan untuk bersujud kepada Nabi Adam As di Surga-Nya. Iblis waktu itu ngedumel : “Kenapa aku harus bersujud kepada Adam, lah, wong Adam terbikin dari tanah lempung, sedangkan aku terbikin dari api. ” Iblis mroso lebih baik.
Lalu Allah memerintahkan iblis keluar dari Surga itu seraya berfirman : “ .. Kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina,” (Termaktub dalam Qur’an Surah Al-Araf/7 : Ayat 12). “Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri,” demikian Allah memperingatkan para hamba-Nya (QS An-Nisa/4 : Ayat 36).
Realitas sosial dan politik demikian sudah sepantasnya diketahui atau patut diketahui bahwa dampak tindakan “nyeleneh atau ugal-ugalan” tersebut secara eksplisit dan moralitas bernegara adalah “inkonstitusional” atau batal demi hukum. Bahkan menurut cara berpikir “kritis-logis-rasional-dialektis” bakal menimbulkan keonaran dan malapetaka sosial bahkan kebinasaan bangsa, di samping merupakan modus tak terpuji.
Bukan hanya itu. Kerap kali, guna mencapai hajatnya atau syahwat berkuasanya, suatu rezim biasanya lantas menggunakan taktik “klasik” manusia-manusia lalim, yaitu melakukan praktik suap dan atau ancaman, intimidasi, penggunaan kekuatan dan kekuasaan (abuse of the power), yang dalam ranah berpikir filsafati atau studi logika argumentasi disebut “Argumen ad baculum”. Sedangkan dalam perspektif tasawuf disebut ingkar as-sunnah, sesat, haram sebab seorang sufi hanya memakan sedikit dari segala yang dihalalkan.
Dalam sejarah Nabi kita dapat melihat upaya Ratu Bilqis sang penguasa Saba yang mencoba menyuap Nabi Sulaiman Allaihis-Salam (As) dengan upeti berbagai barang mewah, tapi kontan ditolak oleh sang Penguasa pasukan jin dan iblis serta pasukan burung yang kendaraan dinasnya adalah “angin” seraya mengatakan, “Bawalah kembali semua barang itu, sebab apa yang Allah berikan kepadaku jauh lebih baik dan lebih berkah.” Para utusan Bilqis lalu pulang undur-diri.
Hal serupa juga pernah dilakukan oleh pemuka musyrik Quraish kepada Nabi Muhammad Saw dengan menawarkan dan memilih perempuan tercantik di kota Mekah, harta yang melimpah-ruah, dan jabatan tertinggi semisal Raja Mekah atau Raja Quraish, asalkan Nabi Saw menghentikan dakwahnya.
Lalu Nabi sang Kekasih Allah itu menjawab dengan perkataan yang kemudian masyhur : “Wahai Pamanku, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan pernah menghentikan dakwahku,” (Hadis dari Ibnu Ishak dalam Al-Maghazi, dalam Sirah Ibn Hisyam; juga termaktub dalam tarikh Islam yang masyhur Nurul Yaqin fi Sirah Sayyid al-Mursalin).
Tidak cukup sampai di situ, terakhir kaum musyrik itu menawarkan sebuah “toleransi kebablasan”, yaitu mengajak Nabi bergiliran dalam tata cara beribadah, yaitu setahun mereka ikut cara beribadah Nabi, dan setahun berikutnya Nabi mengikuti ibadah kaum musyrik, yang kontan dijawab : “La”, “Tidak,”. Lalu turunlah wahyu Allah yang masyhur berupa Surah Al-Kafirun/109 yang intinya menegaskan : “Agamamu untukmu, Agamaku untukku”.
Habis itu, lantaran gagal menyuap Nabi Saw, mereka lantas merencanakan pembunuhan “berjamaah” terhadap Nabiyullah yang de facto berbudi pekerti paling luhur di bumi yang fana ini. Lalu lewat wahyu-Nya Allah memerintahkan Sang Kekasih-Nya itu hijrah ke kota Madinah (pada tahun 622 Masehi), yang kemudian dikenal sebagai awal tahun Hijriah yang kini mencapai tahun ke 1444 H. Sebelumnya Nabi dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menghadap-Nya di “Sidratul Muntaha” di atas langit ke-tujuh dengan mengutus Malaikat Jibril As.
“Pertemuan Agung” atas perkenan dan otoritas Allah Yang Maha Agung dengan Kekasih-Nya itu pun sempat menggemparkan umat dan menyisakan ketakjuban, sehingga karenanya ada beberapa umatnya yang kembali musyrik alias murtad karena basis imannya kendor, lalu menganggap hal itu “tidak masuk akal”.
Sebab sejatinya peristiwa “Isra-Mi’raj” itu sudah tergolong kancah pemikiran level “Suprarasional” atau “Makrifatullah” dalam perspektif tasawuf. “Hal yang menunjukkan bahwa kekuasaan Allah itu absolut dan paripurna, sementara keberadaan manusia itu relatif dan sederhana. Allah pemilik “roh”, sementara manusia hanya memiliki hak-pakai “roh” belaka yang sewaktu-waktu diambil oleh sang pemilik-Nya,” (Prof Asep Usman Ismail, UIN Jakarta, Kajian Tasawuf tentang Jenjang Manusia Menuju Insan Kamil dan Isra Mi’raj, 2023).
Tambahan lagi, tindakan licik, curang, culas, dusta, penuh tipu daya, ingkar, khianat, dan mencampur-adukan kebenaran (al-Haq) dengan kebatilan terlebih terhadap Konstitusi Negara dan Cita-cita Bangsa (das Sollen dan das Wollen) yang termaktub dalam UUD 1945, tiada lain merupakan sebuah makar atau kejahatan yang dapat membinasakan negeri tercinta. Juga dapat memancing murka Allah melalui sifat-sifat “maskulinitasnya” yang maha-dahsyat. Yaitu mula-mula perpecahan atau polarisasi bangsa yang mengkristal, lalu konflik sosial, kemudian khaos.
Puncaknya keruntuhan bangsa yang “ambyar” seperti Uni Soviet atau negeri Balkan. Itu pun masih terbilang lumayan. Lah, kalau kemudian “maujud” seperti Singapura, Uighur, Nepal, Australia, dan Amerika yang melecehkan keberadaan bangsa pribumi aslinya, bagaimana jadinya?! Naudzubillah.
Padahal cita-cita pendiri Bangsa dan Negara yang diproklamasikan pada tahun 1945 silam itu adalah kehendak suci untuk memuliakan, menyejahterakan, dan memakmurkan mereka setelah 350 tahun terjajah, tersiksa dan terhina menjadi warga kelas 3 di negeri sendiri (penduduk Belanda dikategorikan warga kelas 1, Cina/Arab atau Timur asing lainnya kelas 2).
Menurut Prof Onghokham, Guru Besar Sejarah UI, sejak kedatangan VOC (tahun 1601), fakta pertama yang menonjol pada waktu itu adalah penjajah Belanda yang negerinya “seupil di Eropa sana tanpa prestasi di dunia militer” menetapkan bahwa orang-orang Tionghoa ini sebagai golongan pedagang. Kedua bangsa ini, Belanda dan Cina, datang untuk berusaha di Indonesia. Partnership keduanya dibentuk sejak mula, tulis Onghokham …
Pada permulaan abad ke-17 itu, penguasa Belanda menganggap orang Tionghoa sebenarnya tetap merupakan bangsa asing. Belanda tidak tahu apa-apa mengenai mereka. Yang kemudian dilakukan adalah mengangkat seorang pedagang Tionghoa yang terkaya di Batavia sebagai Kapitan Cina, artinya kepala golongan Tionghoa. Para Kepala golongan Tionghoa ini disebut Opsir. Sampai abad ke-19 mereka terdiri dari seorang kapitan, beberapa letnan dan kepala kampung (wijkmeesters),” tutur Onghokham dalam bukunya Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang, Mei 2003.
Dengan berbasis premis mayor, premis minor, dan terminus medius tersebut di atas dapat disimpulkan agar kita semua bersegera mencegahnya sebelum keruntuhan dimaksud terjadi gegara gejolak “nafsu amarah” (an-nafs al-ammarah), yaitu “jiwa yang selalu menyuruh kepada kejahatan”, (Qur’an Surah Yusuf/12 : Ayat 53, Tafsir Kemenag RI).
Karenanya pula, sebelum khaos dan konflik terjadi serta lahirnya lebih banyak peraturan dan perundang-undangan yang hanya menguntungkan “oligarki” terutama para taipan rakus yang menyengsarakan dan memiskinkan rakyat, sebagai “turunan” atau dampak buruk UUD 1945 hasil 4x Amandemen oleh MPR tahun 1999-2002, serta de facto menyebabkan semakin lebarnya kesenjangan si kaya dan si miskin (yang menandakan indikator terjadinya penyelenggaraan “negara oligarki”), kita semua kudu menutup celah dimaksud. Pepatah Arab bilang : “Al-Harokah Barokah” (Bergeraklah dan Barokah Allah pun akan didapatkan).
Fakta pun telah menunjukkan bahwa anasir keadilan sebagai ”roh” dalam setiap hukum dan undang undang atau Perppu telah terabaikan. Padahal filsuf Augustine of Hippo (354-430 M) terang-terangan menegaskan, “Hukum yang tidak adil sama saja dengan tidak ada hukum”.
Sementara Kompas.com mengungkap sedikitnya ada lima Undang Undang yang kontroversial yang diterbitkan selama pemerintahan Presiden Jokowi, yaitu : UU KPK, UU Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional, UU Minerba, UU MK, UU Kebijakan Kuangan Negara. Juga UU Ormas yang berasal dari Perppu No 2 Tahun 2017 yang telah “membunuh” HTI dan FPI tanpa melalui peradilan dan sejatinya melawan UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.”
Bukti-bukti kehidupan yang menyengsarakan rakyat terus bermunculan. Di Jawa Timur, baru-baru ini viral saat seorang Emak-emak terpaksa menggadaikan tabung gas 3 kg senilai Rp 100 ribu hanya untuk membeli kebutuhan berasnya. Bisnis organ tubuh anak-anak dengan cara menculik dan memutilasinya kerap terjadi hanya untuk mendapatkan fulus segar nan haram.
Korban “Pinjaman Online” alias “Pinjol” yang menjerat dan bengis kian marak karena rakyat kesulitan dalam memenuhi sekedar biaya hidupnya dari hari ke hari. Uang kotak amal di masjid kian sering digerayangi para pencuri yang lapar. Banyak sudah Rakyat yang mencret dan menjerit. Jeritannya konon terdengar hingga mencapai “lelangit” dan menggetarkan pintu-pintu langit. Ketahanan sosial dan kesetiakawanan-sosial sungguh berada di bibir jurang.
Terhadap adanya “persekongkolan jahat” di suatu negeri, Allah menegaskan : “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya,” (QS Al-Maidah/5 : Ayat 2). Kedua, Allah memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan sebagaimana termaktub dalam QS An-Nisa : Ayat 135 yang masyhur dan dikutip dan terpatri di dinding gerbang Fakultas Hukum Harvard University, Amerika Serikat :
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) itu kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”
Seruan suci itu ternyata diikuti pula dengan turunnya Wahyu yang syahdu dan meresap di kalbu bagaikan tetes-tetes embun pag yang gugur di dedaunan, yang intinya adalah bisikan bahwa Tuhan itu Maha Melihat dan Maha Tahu atas apa yang kamu kerjakan di bumi, yaitu bunyinya begini : “Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz),” (QS Al-An’am/6 : Ayat 59).
Jikalau demikian, maka sudah sepantasnya ambisi dan keinginan yang bakal membawa kemudaratan bagi bangsa dan negara dihentikan. Dan tulisan ini hendaknya dipandang sebagai kesertaan atau keterlibatan warga masyarakat terhadap Konstitusi kita. Tulisan ini menyetujui kembalinya kepada UUD 1945 asli yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 pasca timbulnya berbagai dampak negatif atas diberlakukannya UUD 1945 versi MPR tahun 2002.
Konstitusi Hasil Perselingkuhan
Sesungguhnya pula secara fundamental dan historikal, kondisi dan posisi UUD 1945 kita setelah 4 kali amandemen oleh MPR RI pada kurun tahun 1999 – 2002 silam, sudah banyak mengalami perubahan besar. Karenanya tak aneh bilamana banyak pihak termasuk kaum cerdik-pandai, ulama, para Jenderal senior dan sejumlah aktivis demokrasi dan HAM yang beropini dan berkesimpulan bahwa UUD 1945 sudah “berganti”. Sudah “diselingkuhi”.
DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) aslinya yang bernas, berjiwa dan bernafaskan Pancasila sebagai sebuah paket konstitusi yang spesial, kokoh, kuat, adekwat, otentik, responsif yang menggambarkan suasana “dzohir” dan batin bangsa Indonesia (das Sein) telah rahib dan bersalin paham pemikiran, yaitu dengan pemikiran atau doktrin filsafati asing yang non-Pancasila. Itu pertama.
Kedua, lenyapnya “roh”, jiwa, semangat Pancasila di dalam pasal demi pasal dan ayat demi ayat di dalam Batang Tubuh UUD 1945 versi tahun 2002 telah berakibat lahirnya berbagai Undang Undang dan Hukum turunannya yang tidak pro-rakyat dan tidak adil.
Ketiga, munculnya ancaman dan hasyrat “nyeleneh” untuk menghapus Pancasila dengan memerasnya menjadi Trisila dan Ekasila, tapi syukur Alhamdulillah hal ini dapat digagalkan.
Keempat, kalau pun dikatakan pasal-pasal dimaksud masih ada, tak lebih hanya tersisa 5 persen saja yang berjiwa dan menganut falsafah Pancasila. Selebihnya adalah kreasi paham pemikiran atau doktrin filsafat impor. Sebut saja liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, pragmatisme, materialisme yang gamang dan “tidak klop” dengan falsafah hidup dan dasar negara Pancasila. Amandemen yang terburu-buru itu, boleh dikata dipengaruhi oleh suasana dan semangat “eforia reformasi” yang kebablasan pasca tumbangnya rezim Orde Baru.
Telaah dan simpulan tersebut di atas tadi, tiada lain berbasiskan atau merujuk kepada “dalil” atau aksioma yang berlaku dalam studi logika dan filsafat bahwa sesungguhnya : “Setiap pikiran dan tindakan itu, sadar atau tidak sadar, sudah senantiasa melibatkan ketentuan filsafati atau doktrin filsafat (philosophical decisions),” (Dr W. Poespoprodjo, L.Ph., SH, SS, Interpretasi – Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya, 1987). Buktinya saja, baru 20 tahun dioperasikan atau diberlakukan oleh MPR RI, “Batang Tubuh UUD 1945” versi tahun 2002 sudah “Mis-leading” dan mendatangkan berbagai dampak negatif yang tidak favourable.
Banyaknya kebijakan atau keputusan pemerintah yang tidak “tune-in” tersebut jika dibiarkan berlalu, dikuatirkan bakal memantik dan mendatangkan “prahara”. Padahal Pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat jelas-jelas mengamanatkan : “Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Kondisi empiris penyelenggaraan negara yang berbasiskan paham-paham impor dan “offside” atau “nir” nilai-nilai Pancasila dimaksud harus segera “dianulir”, dan memberlakukan kembali konstitusi negara UUD 1945 versi PPKI 18 Agustus 1945, baik melalui sidang istimewa MPR maupun Dekrit Presiden RI.
Jauh hari sebetulnya pula Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Unpad, Prof Sri Soemantri dalam disertasi Doktoralnya pada tahun 1978 silam sudah “mewanti-wanti” akan bahayanya konstitusi kita dari para “pembajak” atau “pelaku kudeta konstitusi”. Oleh karenanya beliau berpendapat : “Ketentuan perubahan konstitusi itu harus diperberat guna mencegah usaha suatu golongan yang hendak mengubah UUD 1945.” (Unpad.ac.id., 6/10/2016).
Dalam usia 77 tahun pada tahun 2003, Prof Soemantri ditunjuk sebagai Ketua Komisi Konstitusi MPR. Menurut Sri Soemantri, masalah konstitusi bukan sekedar masalah hukum, melainkan tidak terlepas dari pergulatan kepentingan politik. Yang terpenting adalah membentuk konstitusi rakyat sebagai landasan kokoh bagi penyelenggaraan negara. Pakar Hukum Tata Negara ini berpendapat bahwa konstitusi UUD 1945 itu bukanlah “kitab suci”. Tapi mengubah konstitusi dengan gegabah dan jauh dari roh, jiwa dan semangat Pancasila bukanlah perbuatan yang bijaksana.
Dalam pada itu Prof Mubyarto, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, menyatakan bahwa amandemen UUD 1945 telah kebablasan karena telah menghilangkan “roh” Pembukaannya yang jelas-jelas bersifat anti-neoliberalisme, anti-kapitalisme, dan anti-imperialisme.
Artinya, dengan amandemen empat kali, UUD 1945 sekarang telah “dikebiri” menjadi UUD yang tidak lagi bermartabat dan berjati diri Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat (Prof Mubyarto, dalam buku Kongres Indonesia Raya 2004, Indonesia Raya Bangkit atau Hancur, Penyunting Bambang Wiwoho dkk., 2004, hal 111).
Tak kurang pula tokoh Pejuang 10 November 1945 Surabaya dan Negarawan Prof Dr Roeslan Abdoelgani juga berunjuk opini. Beliau mengatakan : “UUD 1945 versi 4x amandemen mencerminkan pemikiran-pemikiran yang kacau,” (Ceramah pada Silaturahmi Barisan Kebangkitan Indonesia Raya di Gedung Yayasan Bina Pembangunan, Jakarta, 21 Februari 2004). Sejumlah Jenderal TNI dan Polri serta tokoh aktifis demokrasi dan HAM juga beropini senada dan bersepakat agar UUD 1945 dikembalikan kepada asalnya sebagaimana yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
“UUD 1945 yang merupakan prinsip dan acuan dasar dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, pada tahun 2002 sudah dibongkar total .. Apakah itu tetap mau dinamakan UUD 1945 dengan mengelabuhi agar para anak bangsa yang bersumpah setia kepada Pancasila dan UUD 1945 – seperti aparatur negara, aparatur pemerintah, para prajurit TNI yang memegang Sumpah Prajurit, dan anggota Polri yang menjunjung tinggi Tri Brata – tidak menentangnya?
Dengan bahasa terang, UUD sekarang ini telah menjadi UUD 1945 palsu. Nilai-nilai Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 tidak pernah dituangkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 versi 2002 berupa pasal-pasal,” demikian ungkap Komjen Pol Purn Taufiequrachman Ruky, yang juga mantan Plt Ketua KPK dalam bukunya berjudul “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945?” terbitan BukuRepublika 2019.
Sementara itu M. Hatta Taliwang yang pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi PAN dalam buku yang sama memerinci adanya 23 poin kondisi yang memprihatinkan sebagai dampak atau efek dari UUD 2002 atau UUD 1945 hasil amandemen, antara lain : “Pemilu rutin tidak menghasilkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang pro-Rakyat, tapi sebaliknya pro-Pemodal dengan sistem ekonomi super-liberal; Tidak ada Lembaga Tertinggi Negara, MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara, sehingga setiap Lembaga Tinggi Negara menjadi kerajaan sendiri-sendiri; Sistem Pemilihan Presiden secara langsung, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Hanya melahirkan pemimpin legal, tapi tidak legitimate; UUD 1945 asli diakui masih belum sempurna, tapi masih lebih baik daripada UUD 2002, dan masih dapat disempurnakan lewat adendum-adendum, bukan lewat amandemen-amandemen; Kembali ke UUD 1945 adalah sebuah keniscayaan, meski masih ada yang menentang, bahkan mau mengamandemen yang ke-5x.”
Jangan pula dilupakan adalah menggelegarnya Sumpah Surya Paloh untuk menyelamatkan bangsa dan negara yang menuju kehancuran, koreksi Ekonom Faisal Basri tentang pengelolaan tambang yang telah tergadaikan, peringatan mantan Gubernur DKI Bang Yos alias Jenderal Purn Sutiyoso perihal terus membanjirnya pekerja Cina dari RRT ke perusahaan-perusahaan tambang emas dan nikel yang “merampas” hak generasi muda kita.
Alfa-Omega, Allah Yang Maha Kuasa pun sudah mengeluarkan ancaman-Nya. Firman-Nya :
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu agar menaati Allah, tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam negeri itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali negeri itu,” (QS Al-Isra/17 : Ayat 16).
Lantas, kenapa kita masih ngotot dan mengulur waktu?!
Sadarkah bahwa kekuasaan Allah itu absolut? Ingat, Allah yang menciptakan alam semesta ini beserta segenap isinya dan penghuninya. Allah pula yang mampu menghancurkan alam ini pada hari Kiamat nanti, atau kehancuran sedikit-demi-sedikit dengan menimpakan gempa bumi, tsunami, banjir, badai, longsor, letusan gunung berapi. “Benda” atau makhluk ciptaan-Nya ini tunduk patuh kepada Sang Pencipta dan senantiasa bertasbih. Kecuali manusia, setan dan iblis.
Manusia mempunyai titik lemah, yaitu “lupa diri” dan “tak tahu diri”. Manusia di dalam dirinya memang memiliki kebajikan dan perbuatan jahat. Filsuf moral Islam Ibn Miskawaih (932 – 1030 M), bersepakat dengan para filsuf bahwa jenis keutamaan manusia ada empat, yaitu : arif, sederhana, berani, dan adil.
Sebaliknya jenis kejahatannya juga ada empat : bodoh, rakus, pengecut, dan lalim. Di antara dua kutub itulah manusia berperilaku dan berekspresi. Kadang bertahan di keutamaan, kadang jatuh tergelincir kepada kejahatan. Kekuasaan dan harta yang melimpah, terlebih harta haram, turut menjadi faktor penentu. **
Dindin M. Machfudz
Wapemred Majalah Eksekutif 1990/Pemenang Lomba Karya Tulis Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) – LIPI tentang Kamtibmas dan Kepolisian,1985/Mantan Pengurus Pusat ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia)
Comment