Depokrayanews.com- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Setya Novanto segera menyerahkan diri.
Ketika tim penyidik KPK berupaya menjemput paksa Ketua DPR RI Setya Novanto di kediamannya di Jalan Wijaya 8 nomor 19, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Rabu (15/11/2017) hingga Kamis (16/11/2017) pagi, Setya Novanto ternyata tidak ada di kediamannya.
Akhirnya, seizin istri Novanto dan pengacarannya, tim KPK melakukan pengeledahan di kediaman Novanto kemudian membawa sejumlah dokumen
Kuasa Hukum Novanto , Fredrich Yunadi mengaku tidak tahu keberadaan Setya Novanto. “Saya tidak bisa menghubungi Setya Novanto,” kata Fredrich kepada wartawan, Kamis (16/11/2017) pagi
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan upaya penjemputan paksa dilakukan karena Novanto tidak bersikap kooperatif. Novanto sudah empat kali menolak memenuhi panggilan penyidik.
“KPK mendatangi rumah SN karena sejumlah panggilan sudah dilakukan sebelumnya namun yang bersangkutan tidak menghadiri,” kata Febri.
Lembaga Antikorupsi meminta Novanto segera menyerahkan diri ke penyidik untuk digelandang ke markas Komisi Antirasuah. “Secara persuasif kami imbau SN dapat menyerahkan diri,” kata Febri.
Novanto tercatat sudah empat kali menolak memenuhi panggilan penyidik untuk diperiksa kasus korupsi KTP-el. Tiga kali absen sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo dan satu kali sebagai tersangka setelah resmi kembali menjadi pesakitan kasus korupsi KTP-el.
KPK sebelumnya kembali menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi KTP-el.
Novanto diduga telah menguntungkan diri sendiri dan korporasi dari megaproyek tersebut.
Novanto bersama dengan Anang Sugiana Sudiharjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong dan dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto diduga kuat telah merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun dari proyek KTP-el tersebut.
Tak hanya itu, Novanto dan Andi Narogong juga diduga mengatur proyek sejak proses penganggaran, hingga pengadaan e-KTP tersebut. Novanto dan Andi Narogong disebut telah menerima keuntungan dalam proyek e-KTP ini sebesar Rp 574,2 miliar.
Atas perbuatannya, Novanto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (mad)
Comment