by

Pakar Sebut Isu Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Kini Jadi Persoalan Krusial

DEPOKRAYANEWS.COM- Ketua Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia (UI), Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D., mengatakan isu ketahanan pangan dan perbaikan gizi menjadi persoalan krusial karena berkaitan dengan upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

“Indonesia nampaknya harus belajar dari negara-negara tetangga kita untuk bisa menyediakan lahan pertanian produktif, infrastruktur pertanian yang memadai, serta memastikan distribusi pangan yang merata, terutama saat terjadi permasalahan global—seperti perang Rusia dan Ukraina—yang memengaruhi ketahanan pangan Indonesia,” kata Prof. Harkristuti saat menyampaikan sambutan pada acara webinar yang diselenggarakan oleh Komisi IV (Pengembangan Peran Universitas Indonesia di Masyarakat) DGB UI, Rabu 10 Mei 2023.

Webinar bertema “Quo Vadis Ketahanan Pangan, Gizi, dan Budaya Konsumsi?” tersebut dihadiri juga oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), Hilmar Farid, Ph.D.

Ia menyoroti permasalahan food waste dan foodless yang tinggi dan kualitas pangan yang rendah di Indonesia. Menurut Hilmar, konsep pangan bijak mulai dari sektor produksi hingga pengelolaan limbah merupakan hal penting. Konsep ini memerlukan penguatan kebijakan dalam pengelolaan sistem pangan secara keseluruhan.

Dari sisi produksi, Indonesia mengalami homogenisasi bahan pangan pokok yang 50% berpusat pada empat jenis bahan pangan, yakni padi, gandum, jagung, dan kentang. Di sisi lain, tingkat konsumsi memiliki homogenisasi selera. Selama 30 tahun terakhir, pangan yang beragam sekarang terpusat ke beras. Ada catatan bahwa konsumsi gandum mengalahkan konsumsi beras, padahal kita tidak memproduksi gandum. “Masalah muncul ketika kita bergantung pada pangan tersebut,” kata Hilmar.

Guna mengatasi hal ini, ia menilai perlu desentralisasi pangan berdasarkan diversifikasi pangan di Indonesia melalui penguatan pengetahuan dan kebudayaan lokal. “Perguruan tinggi berperan sangat sentral bersama masyarakat di tingkat akar rumput untuk keperluan pangan. Oleh karena itu, perlu adanya pengenalan kembali produk-produk lokal, serta kolaborasi antara produsen pangan dan ahli gastronomi untuk menghasilkan karya yang dapat diterapkan di komunitas lokal,” ujar Hilmar.

Pada acara tersebut, hadir pula tiga narasumber yang membahas seputar ketahanan pangan, budaya konsumsi, dan gizi masyarakat yakni Rektor Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Arif Satria, S.P., M.Si.; Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto; serta Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH.

Menurut Prof. Arif, permasalahan pangan ini memiliki triple burden, yakni underweight, overweight, dan micronutrient deficiency. Kondisi ketahanan pangan di Indonesia juga dapat dilihat secara kuantitatif melalui peta Indeks Ketahanan Pangan (IKP). Pada 2021, Bali, Jawa Tengah, dan Jogja menjadi tiga provinsi yang memiliki IKP tertinggi, sedangkan Kepulauan Riau, Maluku Utara, dan Maluku memiliki IKP terendah di Indonesia.

Food lost dan food waste berpengaruh dalam mencapai ketahanan pangan Indonesia. Kampanye perihal food lost dan food waste seharusnya tidak hanya dilakukan di kelas menengah, tetapi juga di lingkungan kampus. Selain itu, kata Prof. Arif, konversi sistem produksi (lahan), seperti lahan sawah, juga harus diantisipasi. Selain merugikan petani, juga berdampak pada masyarakat yang kehilangan sumber pangan.

“Persoalan impor gandum juga tidak bisa dipisahkan dari ketahanan pangan. Jika impor terus dilakukan, devisa negara akan berkurang. Padahal, Indonesia memiliki 5 juta hektar sagu yang belum dimaksimalkan, sehingga dibutuhkan perhatian khusus mengenai sumber pangan lokal. Stigma negatif pada pangan lokal perlu dihapuskan melalui pembentukan kampanye, revolusi meja makan, hingga revolusi pendidikan di bidang pangan. Hal ini dapat menguntungkan kedua pihak, baik konsumen maupun petani,” ujar Prof. Arif.

Sementara itu, Prof. Aji melihat persoalan pangan bukan sebatas persoalan biologis, tetapi juga persoalan budaya. Kebiasaan makan, seperti konsumsi nasi ataupun roti, menunjukkan peristiwa budaya yang sangat dekat dengan keseharian. Dalam aktivitas konsumsi, terdapat beragam pengalaman makan yang disebut sebagai khasanah rasa. Singkatnya, khasanah rasa menjadi kekayaan rasa yang diekspresikan secara berbeda di berbagai daerah.

“Kebijakan homogenitas pangan di masa lalu mengakibatkan makanan pokok masyarakat Indonesia terpusat pada beras. Khasanah rasa pun terkikis. Oleh karena itu, anak muda saat ini perlu ikut bertanggung jawab dengan mengubah kembali kebiasaan dan pola makan, sehingga khasanah rasa dapat muncul kembali di masyarakat,” kata Prof. Aji.

Selain rasa, nilai gizi makanan juga perlu diperhatikan. Prof. Sandra melihat pemilihan konsumsi memiliki pengaruh terhadap permasalahan pertumbuhan dan perkembangan anak. Indonesia mengalami masalah defisiensi zat gizi mikro dan kelebihan gizi. Kekurangan hingga defisiensi gizi rentan dialami oleh balita, ibu hamil, dan remaja. Sementara, anak sekolah dan dewasa memiliki risiko mengalami kelebihan gizi, seperti overweight dan obesitas. Menurutnya, edukasi melalui media penting dilakukan agar masyarakat dapat menerapkan arahan untuk mengonsumsi makanan bergizi.

“Pembahasan mengenai kualitas pangan dan gizi, ketahanan pangan, serta budaya konsumsi menunjukkan Indonesia serius menangani poin ke-12 dalam SDGs. Meski berhasil memenuhi 69,16% dari keseluruhan SDGs berdasarkan Sustainable Development Report 2022, Indonesia masih belum mencapai SDGs pada bagian ketahanan pangan dan hidup sehat. Oleh karena itu, perlu keseriusan dan sinergi dari berbagai pihak untuk bersama-sama menuntaskan masalah ini,” ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Prof. Muhammad Luthfi, M.A., Ph.D. yang menjadi moderator acara. (rel)

1

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *