Depokrayanews.com- Anda tentu sering ke Margo City, atau ke Margo Hotel. Nah kalau diamati, diantara Margo Hotel dan Margo City ada satu bangunan bercat putih.
Sepintas, bangunan itu kayak Istana Presiden, tapi yang ini jauh lebih kecil dari Istana Presiden di Jakarta.
Ya. Orang-orang dulu menyebut itu adalah Rumah Tua Pondok Cina. Kenapa? Karena rumah itu dibangun pada tahun 1841. Wow!
Bangunan tua ini menjadi saksi bisu sejarah Pondok Cina yang tak bisa dilepaskan dari perkembangan Kota Depok sejak masa Hindia Timur.
Tapi kini bangunan itu ada di atas lahan yang dikuasai keluarga pengusaha rokok Djarum, pemilik Margo City dan Margo Hotel. Tidak jelas bagaimana status rumah itu kini.
Yang jelas rumah tua itu sempat dijadikan tempat bisnis semacacam restoran lengkap dengan live musik. Tapi tidak bertahan lama. Usaha restoran itu tutup. Sebelumnya, Cafe Olala juga begitu, tutup.
Kini, bangunan tua itu dibiarkan terlantar begitu saja. Tidak terawat dan tidak dimanfaatkan sama sekali. Ironis memang.
Status juga tidak jelas, apalah milik pemerintah atau sudah jatuh ke tangan konglomerat rokok itu.
Karena itu termasuk situs budaya, seharusnya Pemerintah Kota Depok mengambilalih pengelolaan rumah tua.
Rumah tua itu jangan dibiarkan hancur begitu saja. Jangan dibiarkan sebagai gedung tua yang seperti tidak punya arti apa-apa. Apapun, rumah tua itu adalah bagian dari sejarah Kota Depok.
Rumah tua ini bisa menjadi salah satu destinasi wisata di Kota Depok. Apapun orang Belanda tidak akan melupakan sejarah, bahwa Depok adalah
salah satu “markas” mereka ketika berkuasa di negeri ini.
Kalau dibaca sejarah, Rumah Tua Pondok Cina dibangun dan dimiliki seorang arsitek Belanda.
Tapi pada pertengahan abad ke-19, ruma itu dibeli oleh saudagar Tionghoa, Lauw Tek Lock namanya.
Rumah itu kemudian diwariskan kepada putranya bernama Kapitan Der Chineezen Lauw Tjeng Shiang.
Di sekitar rumah tua itu, tadinya ada perkebunan karet dan persawahan yang kini berubah jadi mall dan hotel.
Tadinya hanya lima keluarga yang tinggal di daerah itu. Semuanya orang keturunan Tionghoa. Mereka ini selain berdagang ada juga yang bekerja sebagai petani di sawah sendiri serta bekerja di ladang kebun karet milik tuan tanah orang-orang Belanda.
Dalam perjalanan waktu, beberapa keluarga ada yang pindah ke tempat lain yang tidak diketahui apa alasannya sampai akhirnya hanya satu keluarga yang tersisa.
Keluarga ini mendiami rumah tua itu sampai kemudian kawasan itu berubah fungsi menjadi pusat belanja paling bergensi di Depok
Pada jaman dahulu kala, kawasan Pondok Cina merupakan areal hutan dan perkebunan yang bernama Kampung Bojong.
Jauh sebelum orang Belanda menemukan jalan ke Hindia Timur, orang Tionghoa telah mengenal daerah tersebut.
Awalnya hanya sebagai tempat transit pedagang-pedagang Tionghoa yang datang dari Batavia (Jakarta) hendak berjualan di Depok.
Dalam catatan VOC nama Pondok Cina sudah ada dan juga sudah disebut Cornelis Chastelein pendiri Depok dalam wasiatnya.
Lambat laun, pedagang-pedagang Tionghoa yang berdagang di daerah Depok menempati hutan Pondok Cina dengan mendirikan pondok-pondok sederhana.
Kala itu, tuan tanah Kampung Bojong (nama awal Pondok Cina) yang kebetulan juga orang Tionghoa, tak berkeberatan untuk dibuat pondok-pondok.
Sejak itu orang mulai menyebut wilayah tersebut Pondok Cina dan pada tahun 1918 perkampungan tersebut resmi dinamakan Kampung Pondok Cina menggantikan Kampung Bojong. (and/berbagai sumber)
Comment